Monday, October 8, 2012

PENEMUAN NASAKAH KUNO SIPAT DUA PULUH








Kitab Sifat Dua Puluh





أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
kaya akan warisan budaya nenek moyang. Hal ini terbukti dengan
banyaknya peninggalan-peninggalan budaya dari masa lalu yang ditemukan
di kawasan ini, antara lain alat-alat perkakas sehari-hari,
prasasti-prasasti, arca, bangunan-bangunan candi, dan rumah-rumah adat.
Selain peninggalan budaya yang berupa material tersebut, ditemukan
juga peninggalan budaya berupa non-material yaitu tulisan yang ditulis
oleh nenek moyang dengan tulisan tangan dalam berbagai bahan tulisan.
Bahan-bahan tulisan itu antara lain dedaunan yang dikeringkan seperti
daun lontar dan daun nipah, kulit kayu, bambu, rotan, daluwang
(kertas Jawa), dan kertas. Alat tulisnya pun beragam sesuai dengan
bahan yang mereka gunakan untuk menulis tulisan tersebut. Untuk kulit
kayu dan bambu alat tulis yang digunakan adalah peso pangot, semacam
alat yang bermata runcing untuk mengukir tulisan-tulisan di atas bahan
tulisan tersebut kemudian disapu dengan jelaga agar ukiran itu
terlihat. Jika dikerjakan dengan teliti, cara penulisan seperti ini
akan menghasilkan tulisan yang bagus. Namun kelemahannya adalah
kesalahan tidak mungkin dikoreksi karena goresan atau ukiran ini tidak
mungkin diperbaiki. Untuk alas naskah daluwang dan kertas alat tulis
yang digunakan adalah kalam (kuas/pena) dan tinta.
Peninggalan-peninggalan budaya berupa tulisan yang disebutkan di
atas, lazim disebut dengan naskah. Naskah merupakan dokumen yang
berisi berbagai hal yang bermanfaat bagi kita. Melalui naskah kita juga
dapat mengetahui kapan suatu budaya baru masuk dan berkembang dalam
budaya yang telah lama hidup di masyarakat kita dahulunya. Sebagai
contoh, isi naskah tersebut bisa menginformasikan kepada kita tentang
kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia, bagaimana penyebarannya,
dan apa tanggapan dari masyarakat Indonesia yang sudah lebih dahulu
menganut suatu kepercayaan sebelumnya. Semua itu akan terjawab salah
satunya dengan membaca teks yang ada di dalam naskah.



Teks
berisi ide-ide atau gagasan, pokok pikiran, adat istiadat, pola
hidup, tata cara peribadatan dan tradisi budayanya. Karya ini memberi
informasi kepada kita tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Namun
seiring berkembangnya zaman, informasi yang terkandung di dalam
tulisan tersebut sering mengalami transformasi. Akibatnya muncul
banyak teks yang terdapat dalam berbagai bentuk dan cara penulisan. Hal
ini terjadi karena teks atau tulisan itu ditulis berulang-ulang
secara manual dengan menggunakan tangan sehingga ketidakjelasan huruf
ataupun lubernya tinta yang mengganggu pembacaan sering menyebabkan
pembaca ataupun penyalin naskah kesulitan untuk menafsirkan bacaannya.
Selain itu kreatifitas penyalin yang mengubah salinan untuk
menyesuaikan isinya dengan zaman juga menyebabkan informasi di dalam
naskah pun mengalami perubahan. Perubahan ini akan terus berlanjut
selama teks ini mengalami penyalinan secara terus-menerus. Seandainya
teks yang memiliki ketidakjelasan huruf ini dijadikan sumber salinan
teks baru yang benar-benar sama isinya, perubahan dan penafsiran yang
keliru akan terus berlanjut pada turunan-turunan teks selanjutnya.

Penggalian
informasi yang terkandung di dalam sebuah naskah, bukanlah perkara
yang mudah. Banyak kesulitan dan rintangan yang mungkin akan dihadapi
peneliti naskah di antaranya adalah bahan naskah yang berasal dari
alam yang menyebabkan naskah mudah lapuk. Di samping itu, faktor usia
naskah sendiri yang sudah tua ditambah lagi penyimpanan yang kurang
cermat sehingga naskah menjadi terlantar, tertumpah benda cair,
menyebabkan naskah tidak mungkin lagi disentuh apalagi dibaca. Apalagi
seandainya naskah tersebut sampai hilang atau terbakar maka informasi
yang terkandung di dalam naskah tersebut tidak akan pernah sampai
kepada kita selaku generasi baru.
Selain
itu, aksara yang digunakan di dalam naskah pun sudah tidak dikenal
lagi oleh masyarakat sekarang, walaupun naskah tersebut berasal dari
daerahnya sendiri. Seandainya ada, jumlah orang yang masih dapat
membaca aksara lama ini pun tidak banyak dan sudah berusia lanjut.
Orang-orang ini umumnya hafal dengan isi naskah yang berasal dari
daerah mereka tersebut. Sayangnya, hanya sedikit generasi muda yang
tertarik untuk membahas dan belajar dengan mereka. Achadiati (1997:28)
mengemukakan kebanyakan orang Indonesia tidak mengenal aksara mereka
sendiri sehingga mereka merasa asing dengan hal itu. Dari keasingan
ini timbullah sikap tak sayang yang menyebabkan mereka juga kurang
menghargai keberadaan naskah. Padahal aksara dapat dikatakan sebagai
salah satu faktor penting timbulnya naskah.



Menurut
Pradotokusumo (1986:1), aksara atau hasil goresan tangan nenek moyang
Indonesia yang tertua adalah kakawin Ramayana yang berasal dari abad
ke-9 yang menggunakan aksara Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan
satu-satunya kakawin yang diketahui berasal dari Jawa Tengah yang masih
dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Dapat diperkirakan bahwa tulisan
ini merupakan tulisan pertama dalam naskah yang dikenal oleh nenek
moyang kita.
Sejak masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia, Islam menyumbangkan aksara baru yaitu aksara
Arab. Aksara ini kemudian meluas dan menyebar di beberapa daerah di
Nusantara, antara lain dataran Melayu, Sunda, dan Buton. Aksara Arab
kemudian mendominasi aksara-aksara daerah yang sudah ada sebelumnya di
Nusantara. Aksara Arab tersebut beradaptasi dengan bunyi bahasa yang
ada di Nusantara sehingga menghasilkan aksara-aksara baru yang
kemudian diadopsi menjadi aksara sendiri. Misalnya di daerah Melayu,
dikenal adanya aksara Arab Jawi atau Arab Melayuu, di Sunda dikenal
dengan aksara Arab Pegon, dan di Buton menjadi aksara Buri Wolio.



Aksara
Arab yang sudah diadaptasi ini maksudnya adalah huruf Arab yang
digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, misalnya untuk aksara Arab
Melayu merupakan aksara Arab yang menggunakan bahasa Melayu atau
Bahasa Minangkabau. Aksara Arab tersebut akhirnya mengalami
penyesuaian untuk bunyi-bunyi seperti /c/, /g/, /η/, dan /ñ/ dengan
pemberian titik-titik tambahan sebagai penanda, yaitu چ untuk bunyi
/c/, ک untuk bunyi /g/, ڽ untuk bunyi /η/, dan ﻉ untuk bunyi /ñ/.
Dengan demikian, muncullah naskah-naskah yang menggunakan aksara ini
di seluruh daerah yang menggunakannya.

Aksara Arab yang mengalami modifikasi ini mengungguli aksara India
yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat di Nusantara. Dapat dikatakan
di sini bahwa di seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan yang
ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam bahasa pribumi.
Khusus untuk sastra Melayu klasik, khazanah Islam yang dimilikinya
sangat luas (Achadiati, 1997:138). Terbukti dengan banyaknya
naskah-naskah keagamaan yang dihasilkan di kawasan ini. Selain itu
fisik tulisan sangat mendukung pernyataan ini.

Salah satu daerah di Nusantara yang menggunakan aksara ini untuk
menuliskan ide-ide, adat istiadat, dan pola hidup mereka adalah Melayu
khususnya yang berada di ranah Minangkabau. Bangsa Melayu menyebut
aksara ini dengan aksara Arab Melayu.



Pada
umumnya, naskah-naskah yang berasal dari Minangkabau menggunakan Arab
Melayu baik itu naskah sastra, adat istiadat, sejarah, obat-obatan,
keislaman, maupun mantra-mantra untuk tujuan magis. Penggunaan aksara
ini di Minangkabau mengindikasikan bahwa betapa kuatnya sendi Islam
ada di Minangkabau sejak orang Minang mulai mengenal Islam.

Salah satu naskah yang digali dalam penelitian ini adalah naskah
Kitab Sifat Dua Puluh (selanjutnya disebut dengan KSDP). Naskah ini
merupakan naskah keislaman. Hidayat (2007:1-4) mengungkapkan bahwa
aspek pembeda yang menentukan naskah tersebut adalah naskah Islami
adalah dari: (1) aksara, aksara yang digunakan adalah aksara Arab dan
aksara Arab Pegon atau aksara Arab Melayu.; (2) penggunaan bahasa Arab
dan istilah-istilah Arab dalam naskah-naskah yang berisi ajaran Islam
tersebut; (3) kandungan naskah atau teksnya adalah tentang berbagai
ajaran Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman; dan (4)
bahan materialnya adalah kertas baik yang dibuat secara tradisional
(daluwang) ataupun kertas pabrik, alat tulisnya berupa pena dengan
tinta berwarna hitam atau pada bagian tertentu menggunakan tinta
merah.
Naskah KSDP merupakan salah satu
dari sekian banyak naskah keislaman milik masyarakat Minangkabau yang
belum tergali. Naskah ini berisi pemikiran kalami (teologi Islam) yang
dimaksudkan pemikiran ketuhanan (tauhid) menurut alur pikir ilmu kalam
atau teologi yang berlandaskan ajaran Islam. KSDP memaparkan tentang
sifat-sifat Allah SWT dan pada rasul-Nya serta hal-hal yang berkaitan
dengan hukum Islam.






Naskah Kitab Sifat Dua Puluh


Ukuran
naskah: 14x 21 cm; blok teks: 4,5x7 cm; rata-rata terdiri dari 14 baris
tiap halaman; penomoran halaman dibuat ganda dengan menggunakan angka
Arab dan Latin; terdiri dari 24 halaman; tulisan dibingkai dengan dua
garis halus berwarna hitam; bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu
dan Arab; penulis naskah ini adalah Datuk Mali Puti Alam (82 tahun).
Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Kondisi naskah: naskah masih bagus dan
tulisannya masih dapat terbaca. Naskah ini terdapat di surau Suluk yang
beralamat di Nagari Katinggian, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh
Kota.


1 Comments:

ternak kelinci ciamis said...

bagus gan mantap info nya

Post a Comment

 
Design by Blogger Themes | Bloggerized by Admin | free samples without surveys