Showing posts with label 4 KHALIFAH RASULULLAH. Show all posts
Showing posts with label 4 KHALIFAH RASULULLAH. Show all posts

Wednesday, October 2, 2013

Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah








ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok
sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan
pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun
melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat
dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga
kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya
dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah
akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan
tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.



Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4],
maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah-
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5]
Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan
kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk
salah satu jajaran khalifah Rasul.



Pada tulisan ringkas ini akan dibahas
perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada
pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.









Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:




Di sini akan disebutkan beberapa pendapat
Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:



Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah
karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi
Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki
banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu
Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan
untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai
dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin
Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum
yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu
dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab
(al-Quran) dan as-Sunnah”[6].



Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah
yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks
agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang
disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui
banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab
standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya,
termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar
syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu
banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk
menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar
Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat
diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira
maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah
karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah
Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan
antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi
atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang
getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak
bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?



Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa
hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf
saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:



Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan
engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi
keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]



1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah
gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku
diutus setelahku”.[9]



2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah
(pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali
sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]



3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali
adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]



4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah,
jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di
sisiku)”.[12]



5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah
dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia
(Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan
kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw
sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh
samudera”.[14]



6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya
al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali
didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib
memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]



7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah,
jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia
–yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika
dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas
dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi
yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]



8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan
kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan
datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]



Dan masih banyak lagi hadis-hadis
pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam
kitab-kitab standar Ahlusunnah.



Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang
menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas
pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar
tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab
Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi
topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan
sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak,
betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat
orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku
tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa
pemuka Ahlussunah.



Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah
ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia
juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini
akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah
tersebut:



1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang
menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak
diketahui (asalnya)”.[19]



2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana
madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin
(maudhu’)”.[20]



3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum:
“Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah
Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]



4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu
Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari
pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali
telah belajar dari Abu Bakar”.[23]



5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya
mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya.
Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya
mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia
tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada
diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya,
sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun
mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]



Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut
akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu
tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang
memeranginya”.[25]



Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah
memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya
buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari
syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin
Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu
Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli
hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah
mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan
dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan
pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana
ia berada”.[26]



Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu
Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini
dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:



1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat
bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu
Bakar dan Umar”.[27]



2. “Ali berperang (bertujuan) untuk
ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana
mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan
jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada
akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]



3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin
telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari
oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan
itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil.
Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang
disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para
penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]



Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah
tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna
mempersingkat pembahasan.



Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam
menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah,
al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz
dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik,
Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum
muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan
(musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai
para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia
mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen
agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari
(kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti
memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran,
atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]



Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah
dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi
jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin
pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal
begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan
dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya
sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas,
baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh
(dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam
mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.



Yang lebih parah lagi, setelah ia
meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya
tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan
konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya.
Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali
dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia
menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang
dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya
-seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa
pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan
pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.



Berikut ini adalah beberapa contoh dari
ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:



1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan
pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan
Usman”.[32]



2. “Manusia telah bingung dalam masalah
kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian
berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi
imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara
umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]



3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang
diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai
khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan
atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan:
Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan
(konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali.
Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam
khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu,
mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut
Ali”.[34]



4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali
memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah,
atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat)
tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]



Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah
selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib
kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah
Ahlusunnah wal Jama’ah.



Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu
Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama
Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal
Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam
Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan
metode (manhaj)-nya.



1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal:
“Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat,
maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan
dengannya”.[36]



2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal
pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan)
Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum,
mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung
kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah
yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat
dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji
bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada
mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]



3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera
imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang
mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan
ungkapan buruk yang hina”[38].



4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata:
“Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para
pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka
mencintai Muawiyah,
dan Khawarij”.[39]



Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk
mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus
berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar
Ahlusunnah wal Jamaah:



1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali
berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu
setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan
terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah
mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini
akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]



2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui
orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi
Thalib”.[41]



3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang
diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati
sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan
oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali
(pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari
petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]



4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi
diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku
mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan
Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein
pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]



5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi
disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta
para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul
bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib.
Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur
tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul
membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad”
(Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]



6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul
bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang
menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain
disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang
menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]



7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi
bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi
perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]



8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah
karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan
kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab
Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau
mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan
al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di
al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah
meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan
kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku
di Haudh kelak di akherat”.[49]



9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu
Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul
memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin
(Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah,
engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”,
beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar
bin Yasir”.[50]



Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal
Kekhalifahan Ali:



Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak
menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas
nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah
bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan
buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan
kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa
ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib:



1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin
Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan
Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para
imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan
Usman”.[51]



2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin
Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
(Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia
adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya
oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam
(tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan
yang keras”.[52]



3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada
zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami
diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan
mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari
pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para
ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah
paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat
tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu
(as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar.
Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah
kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki
kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari
sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]



Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka
Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para
sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa
yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang
mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak
pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.



Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal
Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:



Pada bagian kali ini akan kita nukil
beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang
cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:



1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan
dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red)
sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]



2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan:
“…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian
terhadap Ali”.[55]



3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah
menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah)
sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]



4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata:
“Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan:
Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]



5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan:
“Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap
Ali”.[58]



6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu
Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh
Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut
(Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan
bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]



Dan masih banyak lagi ungkapan ulama
Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal
dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam
makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga
akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut
Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas
prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua
pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis
al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas
ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah
mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya
(tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia
lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok
Syiah”.[61]



Dari sini jelas bahwa akibat kebencian
terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus
ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah
menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi
ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca
hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling
shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan
biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada
yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan
orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin
Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin
tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang
mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui
kebencian mereka terhadap Ali”.[64]



Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah
menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan
ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga
ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang
menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah
layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah
pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh
al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah
dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan
beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.





Penutup:



Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf
maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan
mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah
yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak
menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari
jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah
dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya
banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari
Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf
saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak
untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf
thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta
gerombolannya.



Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu
Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf”
(Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut
Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran
dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan
(konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal
Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat
pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf
Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya
diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat
tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara
Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara
Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan
mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[www.islamalternatif.net]





[1] Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama
dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran.







Rujukan:




[2] Dalam kitab Mustadrak
as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar
Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang
dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa
al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang
Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke
tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki
kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil
oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul
bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.



[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin
Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya
manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya
Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya
Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.



[4] Dalam kitab Fathul-Bari
disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i,
imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan
Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.



[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2
Hal:62.



[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281,
karya Ibnu Taimiyah al-Harrani.



[7] Lihat Shohih Muslim Kitab:
Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2
Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat
33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6
Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413,
Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278… dan lain sebagainya.



[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398,
karya as-Suyuthi.



[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156,
karya al-Muttaqi al-Hindi.



[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1
Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani.



[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya
al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi.



[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87,
karya Sibth Ibn al-Jauzi.



[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40.



[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya
Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65.



[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400.



[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’)
Hal:239, karya adz-Dzahabi.



[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7
Hal:332.



[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511
& 461.



[19] Ibid Jil:8 Hal:97.



[20] Ibid Jil:7 Hal:515.



[21] Ibid Jil:7 Hal:512.



[22] Ibid Jil:7 Hal: 535.



[23] Ibid Jil:5 Hal:513.



[24] Ibid Jil:6 Hal:18.



[25] Ibid Jil:8 Hal:234.



[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7
Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar
A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239.



[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485.



[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4
Hal:500.



[29] Pernyataan aneh yang terlontar
dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam
kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu
kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan
Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin)
dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh
al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’
az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah
sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut?
Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang
ajarannya hendak ia tegakkan?



[30] Ibid Jil:6 Hal:356.



[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336.



[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404.



[33] Ibid Jil:1 Hal:537.



[34] Ibid Jil:6 Hal:419.



[35] Ibid Jil:4 Hal:682.



[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1
Hal:45.



[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8.



[38] As-Sunnatu Halal Hal:235.



[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.



[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan
dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud
al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:213, dan lain sebagainya.



[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299.
Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam
kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2
Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dan
lain sebagainya.



[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat
ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6
Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh
an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dan lain sebagainya.



[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1
Hal:259.



[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290.



[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11
Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan
dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.



[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang
sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah
karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dan lain sebagainya.



[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa
juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1
Hal:63.



[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75.
Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak
as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dan lain sebagainya.



[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14
Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2
Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235,
Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit
perbedaan redaksi.



[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33.
Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak
as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186,
Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dan lain sebagainya.



[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.



[52] Ibid.



[53] Ibid Jil:3 Hal:214.



[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320.



[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi
Hal:26.



[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah
Hal:120-121.



[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200.



[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod
at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35.



[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7.



[60] Hadis yang mengatakan: Ali
waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku).



[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah,
Hadis no: 2223.



[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120
Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601, Hadis
ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114.



[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594
Hadis ke-3717.



[64] Ibid Hal:593.

Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah



ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.
Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.
Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.


Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:

Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:
Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah”[6].
Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?
Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:
Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]
1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9]
2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]
3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]
4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]
5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14]
6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]
7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]
8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah.
Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:
1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]
2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]
3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]
4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23]
5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]
Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]
Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]
Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:
1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]
2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]
3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]
Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.
Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]
Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.
Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:
1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]
2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]
3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]
4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.
1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]
2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]
3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].
4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]
Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:
1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]
2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]
3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]
4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]
5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]
6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]
7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]
8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]
9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]
Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:
1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]
2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]
3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]
Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.
Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:
Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]
2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]
3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]
4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]
5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]
6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]
Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]
Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]
Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.
Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya.
Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[www.islamalternatif.net]
[1] Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran.
Rujukan:
[2] Dalam kitab Mustadrak as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.
[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.
[4] Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i, imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.
[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2 Hal:62.
[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani.
[7] Lihat Shohih Muslim Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6 Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413, Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278… dan lain sebagainya.
[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398, karya as-Suyuthi.
[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi.
[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani.
[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi.
[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi.
[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40.
[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65.
[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400.
[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi.
[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7 Hal:332.
[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511 & 461.
[19] Ibid Jil:8 Hal:97.
[20] Ibid Jil:7 Hal:515.
[21] Ibid Jil:7 Hal:512.
[22] Ibid Jil:7 Hal: 535.
[23] Ibid Jil:5 Hal:513.
[24] Ibid Jil:6 Hal:18.
[25] Ibid Jil:8 Hal:234.
[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239.
[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485.
[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500.
[29] Pernyataan aneh yang terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?
[30] Ibid Jil:6 Hal:356.
[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336.
[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404.
[33] Ibid Jil:1 Hal:537.
[34] Ibid Jil:6 Hal:419.
[35] Ibid Jil:4 Hal:682.
[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45.
[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8.
[38] As-Sunnatu Halal Hal:235.
[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.
[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dan lain sebagainya.
[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dan lain sebagainya.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dan lain sebagainya.
[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.
[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290.
[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.
[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dan lain sebagainya.
[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.
[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dan lain sebagainya.
[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.
[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dan lain sebagainya.
[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.
[52] Ibid.
[53] Ibid Jil:3 Hal:214.
[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320.
[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26.
[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121.
[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200.
[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35.
[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7.
[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku).
[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223.
[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601, Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114.
[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717.
[64] Ibid Hal:593.

Tuesday, September 13, 2011

NASEHAT ALI BIN ABI THALIB UNTUK UMAT MUSLIM




Hidupkanlah hati dan pikiranmu dengan menerima dan memperhatikan nasehat. Jadikanlah kesalehan sebagai penolong untuk menghilangkan keinginan- keinginan nafsumu yang tidak terkendali. Binalah budi pekertimu dengan pertolongan keyakinan yang tulus pada agama dan Allah.


Taklukkanlah keinginan-keinginan pribadimu, kesesatan hatimu dan kebandelanmu dengan senantiasa mengingat kematian. Sadarilah akan kefanaan hidup dan segala kenikmatannya. Insyafilah kenyataan dari kemalangan dan kesengsaraan yang senantiasa menimpamu serta

perubahan keadaan dan waktu. Ambillah pelajaran dari sejarah kehidupan orang-orang terdahulu.
Jangan membicarakan apa yang tidak engkau ketahui. Jangan berspekulasi dan memberi pendapat atas apa yang kau tidak berada dalam kedudukan untuk memberi pendapat tentangnya. Berhentilah jika khawatir akan tersesat. Adalah lebih baik berhenti disaat kebingungan daripada maju merambah bahaya-bahaya yang tak tentu dan resiko-resiko yang tak terduga.

Berjuanglah dan berjihadlah demi mempertahankan dan demi tegaknya kalimat Allah. Jangan takut dan khawatir bahwa orang-orang akan mengejekmu, mengecam tindakanmu dan memfitnahmu. Janganlah gentar dan ragu membela kebenaran dan keadilan.

Hadapilah dengan sabarpenderitaan dan kesengsaraan yang menimpa. Hadapilah dengan berani rintangan yang menghalangi ketika engkau berupaya mempertahankannya. Sokonglah kebenaran dan keadilan setiap kali engkau menjumpainya.

Binalah kesabaran dalam menghadapi segala kesulitan, bencana dan kesengsaraan. Kesabaran merupakan salah satu diantara moral yang tertinggi dan akhlak yang mulia, dan merupakan suatu kebiasaan yang terbaik yang dapat dibina. Bersandar dirilah kepada Allah dan mintalah senantiasa perlindunganNya dari segala bencana dan penderitaan. Jangan mengharap pertolongan dan perlindungan dari siapapun kecuali Allah.

Ketahuilah bahwa sombong dan bangga diri adalah bentuk-bentuk kebodohan dan berbahaya bagi jiwa dan pikiran. Oleh karena itu, jalanilah kehidupan yang seimbang dan berusahalah untuk berlaku jujur dan tulus. Apabila mendapat bimbingan dari Allah untuk mencapai apa-apa yang diinginkan, maka janganlah berbangga dengan perolehan itu. Tunduk dan merendahlah dihadapan Allah dan sadarlah bahwa keberhasilan itu semata-mata karena kasih dan karunia-Nya.




Sesungguhnya perumpamaan dunia adalah seperti ular: lembek bila disentuh, tetapi racunnya sangat membunuh. Anak kecil yang tidak mengerti suka sekali menyentuhnya, tetapi orang yang cerdik akan berhati-hati daripadanya. Oleh karenanya berpalinglah dari apa yang menakjubkanmu di dunia ini, karena hanya sedikit yang bersahabat denganmu.
Hati-hatilah terhadap dunia yang menipu dan memperdayakan ini. Ia telah berhias dengan perhiasannya, membujuk dengan tipu dayanya, dan menyesatkan dengan harapan-harapannya. Dunia bersolek bagi para peminangnya sehingga ia seperti pengantin wanita yang dipertontonkan, lalu setiap mata memandangnya, jiwa tergila-gila dan hatipun berhasrat kepadanya.

Dunia ini akan membinasakan orang yang merasa aman daripadanya dan orang yang waspada terhadapnya akan mendapatkannya. Maka, ambilah apa dari dunia ini yang mendatangimu dan berpalinglah dari apa yang berpaling darimu.

Dunia ini adalah kendaraan bagi seseorang untuk berangkat menuju Tuhannya, karena dunia diciptakan untuk selain dirinya (untuk akhirat), maka perbaikilah kendaraan kalian, niscaya ia akan menyampaikan kepada Tuhan kalian.

Wahai manusia, sesungguhnya dunia adalah negeri yang sekedar dilalui, sedangkan akhirat adalah tempat kediaman yang abadi. Oleh karena itu ambilah bekal dari tempat yang kalian lalui ini untuk kelak di tempat kediaman yang abadi.

Permulaan dunia adalah kesusahpayahan dan akhirnya adalah kehancuran. Halalnya dihisab, haramnya adalah siksaan. Siapa yang sehat didalamnya, dia aman. Siapa yang sakit didalamnya, dia menyesal. Yang mengais kekayaan didalamnya, mendapat ujian. Dan yang fakir didalamnya dia bersedih. Yang berusaha mendapatkannya, akan luput darinya, dan yang menahan diri daripadanya, dunia akan mendatanginya. Siapa yang memandang kepadanya, dunia akan membutakan hatinya, dan siapa yang merenungkannya, dunia akan membukakan pandangannya.


“Kebaikan bukanlah memiliki harta melimpah dan anak banyak. Akan tetapi, kebaikan adalah jika amalmu banyak, ilmumu luas dan engkau tidak menyombongkan diri kepada orang lain dengan ibadahmu kepada Allah swt. Jika berbuat baik, engkau segera bersyukur kepada Allah swt dan jika berbuat buruk segera memohon ampun kepada-Nya.

Di dunia ini tidak ada kebaikan, kecuali bagi orang berikut :
1. seorang yang banyak berbuat dosa kemudian bertobat dan memperbaiki segala kesalahannya

2. seorang yang senantiasa bergegas untuk melakukan berbagai amal kebajikan”Ketahuilah! Sesungguhnya kalian akan mati dan setelah itu dibangkitkan. Kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas semua amal kalian, serta mendapatkan balasan yang setimpal. Karena itu jangan tertipu kehidupan dunia. Kehidupan dunia ini penuh ujian, bersifat sementara dan sarat dengan tipu daya. Semua yang berada di dalamnya akan musnah. Para penghuninya pun saling berebut untuk memperolehnya.Ketahuilah! Kalian beserta segala perhiasan kehidupan dunia akan mengalami hal yang sama dengan mereka yang terdahulu, orang-orang yang lebih panjang umurnya dan lebih megah rumahnya. Sekarang jasad mereka telah menjadi tulang belulang, rumah mereka kosong. Mereka berada di kubur yang letaknya dekat dan penghuninya terasingkan. Mereka digerogoti oleh cacing, tertimbun oleh bebatuan dan pasir.Bayangkan kalian kelak akan menjadi seperti mereka, tubuh kalian hancur dan sendiri di kubur. Apa yang akan terjadi dengan kalian jika kiamat tiba, semua yang dikubur dibangkitkan dan segala rahasia yang tersembunyi dalam dada dibongkar, pada saat itulah setiap jiwa akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatannya selama hidup di dunia
.
“”Hapalkanlah lima hal ini, andaikata kalian menunggang onta untuk mendapatkannya, maka hingga onta itu kurus, kalian tidak akan memperolehnya :
1. Seorang Hamba hendaknya tidak berharap kecuali kepada Allah swt Tuhannya.
2. Seorang hamba hendaknya hanya takut akan dosa-dosanya.
3. Seorang yang bodoh hendaknya tidak merasa malu untuk bertanya.
4. Seorang yang berilmu ketika ditanya tentang sebuah persoalan dan tidak mengetahui jawabannya, hendaknya tidak malu untuk mengatakan, “Allah swt yang Maha Mengetahui.”
5. Bagi Iman, sabar ibarat kepala sebuah tubuh, sehingga tidak ( sempurna ) iman seseorang yang tidak memiliki kesabaran.

NASEHAT ALI BIN ABI THALIB UNTUK UMAT MUSLIM




Hidupkanlah hati dan pikiranmu dengan menerima dan memperhatikan nasehat. Jadikanlah kesalehan sebagai penolong untuk menghilangkan keinginan- keinginan nafsumu yang tidak terkendali. Binalah budi pekertimu dengan pertolongan keyakinan yang tulus pada agama dan Allah.


Taklukkanlah keinginan-keinginan pribadimu, kesesatan hatimu dan kebandelanmu dengan senantiasa mengingat kematian. Sadarilah akan kefanaan hidup dan segala kenikmatannya. Insyafilah kenyataan dari kemalangan dan kesengsaraan yang senantiasa menimpamu serta

perubahan keadaan dan waktu. Ambillah pelajaran dari sejarah kehidupan orang-orang terdahulu.
Jangan membicarakan apa yang tidak engkau ketahui. Jangan berspekulasi dan memberi pendapat atas apa yang kau tidak berada dalam kedudukan untuk memberi pendapat tentangnya. Berhentilah jika khawatir akan tersesat. Adalah lebih baik berhenti disaat kebingungan daripada maju merambah bahaya-bahaya yang tak tentu dan resiko-resiko yang tak terduga.

Berjuanglah dan berjihadlah demi mempertahankan dan demi tegaknya kalimat Allah. Jangan takut dan khawatir bahwa orang-orang akan mengejekmu, mengecam tindakanmu dan memfitnahmu. Janganlah gentar dan ragu membela kebenaran dan keadilan.

Hadapilah dengan sabarpenderitaan dan kesengsaraan yang menimpa. Hadapilah dengan berani rintangan yang menghalangi ketika engkau berupaya mempertahankannya. Sokonglah kebenaran dan keadilan setiap kali engkau menjumpainya.

Binalah kesabaran dalam menghadapi segala kesulitan, bencana dan kesengsaraan. Kesabaran merupakan salah satu diantara moral yang tertinggi dan akhlak yang mulia, dan merupakan suatu kebiasaan yang terbaik yang dapat dibina. Bersandar dirilah kepada Allah dan mintalah senantiasa perlindunganNya dari segala bencana dan penderitaan. Jangan mengharap pertolongan dan perlindungan dari siapapun kecuali Allah.

Ketahuilah bahwa sombong dan bangga diri adalah bentuk-bentuk kebodohan dan berbahaya bagi jiwa dan pikiran. Oleh karena itu, jalanilah kehidupan yang seimbang dan berusahalah untuk berlaku jujur dan tulus. Apabila mendapat bimbingan dari Allah untuk mencapai apa-apa yang diinginkan, maka janganlah berbangga dengan perolehan itu. Tunduk dan merendahlah dihadapan Allah dan sadarlah bahwa keberhasilan itu semata-mata karena kasih dan karunia-Nya.




Sesungguhnya perumpamaan dunia adalah seperti ular: lembek bila disentuh, tetapi racunnya sangat membunuh. Anak kecil yang tidak mengerti suka sekali menyentuhnya, tetapi orang yang cerdik akan berhati-hati daripadanya. Oleh karenanya berpalinglah dari apa yang menakjubkanmu di dunia ini, karena hanya sedikit yang bersahabat denganmu.
Hati-hatilah terhadap dunia yang menipu dan memperdayakan ini. Ia telah berhias dengan perhiasannya, membujuk dengan tipu dayanya, dan menyesatkan dengan harapan-harapannya. Dunia bersolek bagi para peminangnya sehingga ia seperti pengantin wanita yang dipertontonkan, lalu setiap mata memandangnya, jiwa tergila-gila dan hatipun berhasrat kepadanya.

Dunia ini akan membinasakan orang yang merasa aman daripadanya dan orang yang waspada terhadapnya akan mendapatkannya. Maka, ambilah apa dari dunia ini yang mendatangimu dan berpalinglah dari apa yang berpaling darimu.

Dunia ini adalah kendaraan bagi seseorang untuk berangkat menuju Tuhannya, karena dunia diciptakan untuk selain dirinya (untuk akhirat), maka perbaikilah kendaraan kalian, niscaya ia akan menyampaikan kepada Tuhan kalian.

Wahai manusia, sesungguhnya dunia adalah negeri yang sekedar dilalui, sedangkan akhirat adalah tempat kediaman yang abadi. Oleh karena itu ambilah bekal dari tempat yang kalian lalui ini untuk kelak di tempat kediaman yang abadi.

Permulaan dunia adalah kesusahpayahan dan akhirnya adalah kehancuran. Halalnya dihisab, haramnya adalah siksaan. Siapa yang sehat didalamnya, dia aman. Siapa yang sakit didalamnya, dia menyesal. Yang mengais kekayaan didalamnya, mendapat ujian. Dan yang fakir didalamnya dia bersedih. Yang berusaha mendapatkannya, akan luput darinya, dan yang menahan diri daripadanya, dunia akan mendatanginya. Siapa yang memandang kepadanya, dunia akan membutakan hatinya, dan siapa yang merenungkannya, dunia akan membukakan pandangannya.


“Kebaikan bukanlah memiliki harta melimpah dan anak banyak. Akan tetapi, kebaikan adalah jika amalmu banyak, ilmumu luas dan engkau tidak menyombongkan diri kepada orang lain dengan ibadahmu kepada Allah swt. Jika berbuat baik, engkau segera bersyukur kepada Allah swt dan jika berbuat buruk segera memohon ampun kepada-Nya.

Di dunia ini tidak ada kebaikan, kecuali bagi orang berikut :
1. seorang yang banyak berbuat dosa kemudian bertobat dan memperbaiki segala kesalahannya

2. seorang yang senantiasa bergegas untuk melakukan berbagai amal kebajikan”Ketahuilah! Sesungguhnya kalian akan mati dan setelah itu dibangkitkan. Kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas semua amal kalian, serta mendapatkan balasan yang setimpal. Karena itu jangan tertipu kehidupan dunia. Kehidupan dunia ini penuh ujian, bersifat sementara dan sarat dengan tipu daya. Semua yang berada di dalamnya akan musnah. Para penghuninya pun saling berebut untuk memperolehnya.Ketahuilah! Kalian beserta segala perhiasan kehidupan dunia akan mengalami hal yang sama dengan mereka yang terdahulu, orang-orang yang lebih panjang umurnya dan lebih megah rumahnya. Sekarang jasad mereka telah menjadi tulang belulang, rumah mereka kosong. Mereka berada di kubur yang letaknya dekat dan penghuninya terasingkan. Mereka digerogoti oleh cacing, tertimbun oleh bebatuan dan pasir.Bayangkan kalian kelak akan menjadi seperti mereka, tubuh kalian hancur dan sendiri di kubur. Apa yang akan terjadi dengan kalian jika kiamat tiba, semua yang dikubur dibangkitkan dan segala rahasia yang tersembunyi dalam dada dibongkar, pada saat itulah setiap jiwa akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatannya selama hidup di dunia
.
“”Hapalkanlah lima hal ini, andaikata kalian menunggang onta untuk mendapatkannya, maka hingga onta itu kurus, kalian tidak akan memperolehnya :
1. Seorang Hamba hendaknya tidak berharap kecuali kepada Allah swt Tuhannya.
2. Seorang hamba hendaknya hanya takut akan dosa-dosanya.
3. Seorang yang bodoh hendaknya tidak merasa malu untuk bertanya.
4. Seorang yang berilmu ketika ditanya tentang sebuah persoalan dan tidak mengetahui jawabannya, hendaknya tidak malu untuk mengatakan, “Allah swt yang Maha Mengetahui.”
5. Bagi Iman, sabar ibarat kepala sebuah tubuh, sehingga tidak ( sempurna ) iman seseorang yang tidak memiliki kesabaran.

Sunday, August 7, 2011

UTSMAN BIN AFFAN RA

1. MUKADDIMAH



Penjelasan Dari Muhammad bin Shamil as-Sulami Makkah al-Mukarramah



Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam. Semoga shalawat serta salam



senantiasa tercurah kepada Nabi dan Rasul yang termulia Muhammad bin Abdullah serta keluarga dan para sahabatnya.



Amma ba’du, berkat taufik dari Allah SWT. yang telah mengarahkan kei-nginan



saya untuk memberikan khidmat terhadap kitab al-Bidayah wan Nihayah karya al-Imam al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’, Isma’il bin Umar ra. bin Katsir al-Quraisy, dengan menyusunnya, merevisi serta mentakhrij dan mentahqiq nash-nashnya hingga dapat mempermudah pembaca dan membahas. Buku Tahdzib Khilafah Abu Bakar ra. ash-Shiddiq dan dua juz tahdzib Khilafah Umar ra. bin Khaththab telah dicetak dan mendapat pujian dari para ulama dan pelajar atas pekerjaan dan pontensi yang telah saya berikan. Hal tersebut mendorong saya untuk menyeselaikan pekerjaan dan lebih banyak memberikan khidmat terhadap kitab tersebut. Semoga Allah SWT. memberikan taufikNya kepada saya untuk segera menyelesaikannya insya Allah.



Buku ini membicarakan tentang Khilafah Dzun Nurain Utsman bin Affan ra. Yang telah saya susun sesuai dengan metoda yang telah saya jelaskan pada buku pertama tentang sejarah Khilafah Abu Bakar ra. ash-Shiddiq. Insya Allah akan tersusun dalam bentuk yang diinginkan yang membeberkan tentang fitnah yang disertai dengan ambisi, wabah, perselisihan yang menjadi sumber kesesatan dan pelaku kerusakan yang sejak



dahulu berusaha merusak sejarah dengan menambah-nambah berita dan melakukan kebohongan yang tidak pernah terjadi, hingga mereka mencoreng sejarah hidup sahabat, membuat para pembaca dan pembahas kesulitan untuk mengetahui kasus yang sebenarnya.



Al-Imam Ibnu Katsir ui!^ merupakan salah seorang ulama terpercaya dan memiliki ilmu mapan yang tidak sembarangan dalam mengambil apa yang terdapat di dalam bukubuku yang terdahulu serta tidak hanya mencu-kupkan dengan hikayat-hikayat saja sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, tetapi beliau melakukan bantahan dan menimbang antara berita-berita yang terdapat dalam berbagai buku referensi tarikh dan sunnah serta buku-buku aqidah sehingga dapat diketahui kasus yang sebenarnya. Melihat betapa pentingnya buku ini dan penbahasan kasus ini maka saya memberikan kesungguhan yang ekstra untuk meneliti nash-nash, takh-rij dan ta’liq



terhadap nash tersebut.



Demikian juga dalam meletakkan bab serta penyusunan yang dengan mudah dapat tergambar oleh pembaca bentuk kasus yang sebenarnya pada masa tersebut. Pembaca dapat memaha-mi dengan jelas bahwa Utsman bin Affan ra. Dan sahabat Rasulullah saw. yang lain tidak terlibat sedikit pun dalam kasus-kasus yang menyeret ke dalam kancah fitnah tersebut.



Demikian juga agar menjadi jelas bagaimana sikap Utsman bin Affan ra. yang telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan umat ini dari pertumpahan darah, merelakan nyawanya yang suci untuk meng-hindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa dari kalangan umat ini selain amalan shAli ra.h yang telah beliau berikan seperti jihad, mencurahkan potensinya di jalan Allah SWT. dan menjaga Kitabullah dari pemalsuan dan peru-bahan pada hari ditulisnya Mushaf Utsmaniyah setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Semoga Allah SWT. mencurahkan rahmatNya kepada Khalifah Rasyid Utsman bin Affan ra. dan memberinya sebaik-baik ganjaran yang diberikan kepada para wali ra. Allah SWT., atas jasa yang telah diberikan kepada Islam dan umat Islam.



Pada akhir pembahasan ini saya menambahkan satu nash panjang yang diambil dari Kitab Asy-Syar’iyah karya al-Imam al-Ajurry yang menafsirkan sebab-sebab timbulnya fitnah dan bagaimana sikap para sahabat yang tidak memerangi para pemberontak sebagai pembelaan terhadap Utsman.



Tambahan lain adalah faedah dari hasil study akademik yang khusus membahas



kasus fitnah dan terbunuhnya Utsman. Di dalam meneliti kasus ini, penulis telah menempuh jalan para ulama hadits dalam mengulas riwayat-riwayat yang berkaitan dengan kasus tersebut dan ditambahkan dengan mengeluarkan beberapa faedah bagus yang dapat menenangkan jiwa.



2. NASAB DAN KETURUNAN BELIAU



Utsman bin Affan ra. bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik



bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan.659 Abu Amr, Abu Abdullah660 al-Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua orang putri Rasulullah saw. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib paman Rasulullah saw..



Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar juga merupakan khulafaur Rasyidin yang ketiga, imam mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.



3. CIRI-CIRI DAN AKHLAK BELIAU



Beliau adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai jenggot yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu bidang, berambut lebat, bentuk mulut bagus yang berwarna sawo matang. Dikatakan pada wajah beliau terdapat bekas cacar.661



Dari az-Zuhry berkata, “Beliau berwajah rupawan, bentuk mulutbagus, berbahu



bidang, berdahi lebar dan mempunyai kedua telapak kaki lebar.662 Beliau memiliki akhlak yang mulia, sangat pemalu, dermawan dan terhormat, mendahulukan kebutuhan keluarga dan familinya dengan mem-berikan perhiasan dunia yang fana. Mungkin beliau bermaksud untuk men-dorong mereka agar lebih mendahulukan sesuatu yang kekal daripada sesuatu yang fana. Sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah saw. terkadang beliau memberikan harta kepada suatu kaum dan tidak member kaum yang lain karena khawatir mereka akan dimasukkan oleh Allah SWT. ke dalam neraka.



Sebagian kaum memprotes beliau karena perlakuan tersebut sebagaimana yang



telah dilakukan oleh orang-orang Khawarij terhadap Rasulullah saw. atas pembagian harta rampasan perang Hunain.



Imam Ahmad berkata, “Telah mengatakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim ia berkata, telah mengatakan kepada kami Yunus yakni Ibnu ‘Ubaid ia berkata, telah mengatakan kepadaku ‘Atha’ bin Farrarakh Maula Qurasyiyin bahwa Utsman bin Affan ra. Menjual sebidang tanah kepada seseorang hanya saja orang itu terlambat menerimanya, ketika beliau bertemu dengannya beliau menanyakan sebabnya, ‘Apa yang menyebabkan kamu terlambat menerima hartamu?’ Ia menjawab, ‘Engkau telah menipuku! Setiap aku bertemu dengan seseorang ia menyesalkan pembelian tanah tersebut.’ Beliau berkata, ‘Apa hanya itu yang membuatmu terlambat?’ Jawabnya, ‘Benar.’ Beliau berkata, ‘Kamu boleh pilih apakah kamu mau meminta uang itu kembali atau mengambil tanah.



Kemudian ‘Atha’ bin Farrarakh Maula Qurasyiyin berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: “Allah SWT. memasukkan ke dalam surga seorang mempermudah jual beli,



menghukum dan terhukum.”663



Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa Thalhah datang menemui Utsman bin Affan ra. Di luar masjid dan berkata kepada beliau, “Uang lima puluh ribu yang dulu aku pinjam sekarang sudah ada, kirimlah utusanmu untuk datang mengambilnya!” Beliau menjawab, “Uang tersebut sudah kami hibahkan untukmu karena kepahlawananmu.”



Ash-Sham’i berkata, “Ibnu ‘Amir mengangkat Quthn bin ‘Auf al-Hilaly sebagai gubernur di daerah Karman. Maka datanglah pasukan kaum muslimin yang berkekuatan empat ribu personil.



Ketika itu ada sebuah lembah sedang diAli ra.ri air yang menghalangi perjalanan tentara tersebut. Karena khawatir mereka terlambat maka ia berkata, “Barangsiapa yang berhasil melintas sampai ke seberang maka ia akan mendapat hadiah sebanyak seribu dirham.” Mereka harus melewati tantangan yang besar ini. Setiap kali orang berhasil melintasinya Quthn berkata, “Berikan hadiahnya!” Hingga semua pasukan berhasil melimtas Ali ra.ran air tersebut, Jumlahnya sebanyak empat juta dirham, namun lbnu ‘Amir enggan untuk memberikannya, lantas ia mengirim surat kepada Utsman bin Affan ra., beliau menjawab, “Beri-kanlah uangnya karena ia telah membantu kaum muslimin yang sedang berada di jalan Allah SWT..” Mulai hari itu dinamakanlah hadiah itu dengan nama hadiah penyeberangan lembah.664



4. ISLAM DAN JIHAD UTSMAN BIN AFFAN RA.



Utsman bin Affan ra. masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ra. ash-Shiddiq. Beliau adalah orang pertama yang hijrah ke negri Ethiopia bersama istrinya Ruqayah binti Rasulullah saw. kemudian kembali ke Makkah dan hijrah ke Madinah. Beliau tidak dapat ikut serta pada perang Badar karena sibuk mengurusi putri Rasulullah saw. (istri beliau) yang sedang sakit. jadi beliau hanya tinggal di Madinah. Rasulullah saw. Memberikan bagian dari harta ram-pasan dan pahala perang tersebut kepada beliau dan beliau dianggap ikut serta dalam peperangan. Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah saw. menikahkannya dengan adik istrinya yang bernama Ummu Kaltsum yang pada akhirnya juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Beliau ikut serta dalam peperangan Uhud,



Khandaq, Perjanjian Hudaibiyah yang pada waktu itu Rasulullah saw. membai’atkan untuk Utsman dengan tangan beliau sendiri. Utsman bin Affan ra. juga ikut serta dalam peperangan Khaibar, Tabuk, dan beliau juga pernah memberikan untuk pasukan ‘Usrah sebanyak tiga ratus ekor unta dengan segala perlengkapannya.Dari Abdurrahman bin Samurah bahwa pada suatu hari Utsman bin Affan ra. Datang membawa seribu dinar dan meletakkannya di kamar Rasulullah saw. Rasulullah saw. bersabda, ” Tidak ada dosa bagi Utsman setelah ia melakukan ini (diucapkan dua kali).”665



Rasulullah saw. pergi menunaikan haji Wada’ bersama beliau. Rasulullah saw. wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan ra.. Kemudian beliau menemani Abu Bakar ra. dengan baik dan Abu Bakar ra. wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan ra.. Beliau menemani Umar ra. dengan baik dan Umar ra. wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan ra., serta menetap-kan bahwa beliau adalah salah seorang dari enam orang anggota Syura dan beliau sendiri adalah orang yang paling istimewa di antara anggota lainnya. Utsman bin Affan ra. menjadi khalifah setelah Umar ra.. banyak menaklukkan berbagai negara melalui tangan beliau. Semakin lebarlah wilayah negara Islam dan bertambah luaslah negara Muhammadiyah ini serta sampailah misi Rasulullah saw. Ke sebelah timur dan barat bumi ini. Nampaklah kebenaran Firman Allah SWT. ,“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shAli ra.h bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yangfasik.” (An-Nur: 55). Firman Allah SWT. , “Dia-lah yang mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik bend.“ (Ash-Shaf: 9).



Rasulullah saw. bersabda: “jika Kaisar mati maka tida lagi kaisar setelahnya dan jika Kisra meninggal maka tiada lagi Kisra setelahnya, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya harta-harta karun mereka akan di gunakan untuk perang di jalan Allah.”666 Semua ini terjadi dan terbukti pada zaman Utsman bin Affan ra..



5. Berita Gembira TTG Beliau Penduduk Surga.



Rasulullah saw. bersabda:



“Siapa saja yang menggali Sumur Rumata maka untuknya surga.” Maka sumur tersebut digali oleh Utsman.



Beliau bersabda lagi:



“Barangsiapa yang mendanai pasukan ‘Usrah maka untuknya surga.” Maka Utsman bin Affan ra. mendanai pasukan tersebut.



Dari Abu Musa al-Asy’ary bahwa Rasulullah saw. masuk ke dalam sebuah kebun dan memerintahkanku untuk menjaga pintu kebun tersebut. Kemudian datang seorang lelaki meminta izin untuk masuk, beliau bersabda: “Izinkan ia masuk kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga.” Ternyata’ lelaki tersebut adalah Abu Bakar ra.. Lantas datang lelaki lain meminta izin agar diizinkan masuk, beliau bersabda, “Izinkan ia masuk kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga.” Ternyata lelaki tersebut adalah Umar ra. bin Khaththab. Kemudian datang seorang lelaki meminta izin untuk masuk, beliau terdiam sejenak lalu bersabda, “Izinkan ia masuk kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga disertai dengan cobaan yang menimpanya.” Ternyata lelaki tersebut adalah Utsman bin Affan ra.. Hammad berkata, “Telah mengatakan kepada kami ‘Ashim al-Ahwal dan Ali ra. Bin al-Hakam, mereka berdua telah mendengar bahwa Abu Utsman al-Hindy menceritakan dari Abu Musa seperti hadits tersebut dan Ashim manambahkan bahwa Nabi sedang duduk di suatu tempat yang disana terdapat air sambil menyingkapkan kedua betis beliau atau lututnya- di saat Utsman bin Affan ra. masuk beliau menutup lututnya.



6. Utsman Memenuhi Panggilan Allah SWT. dan RasulNya dan Berhijrah Dua Kali.



Dari Ibnu Syihab ia berkata,’”Urwah telah mengabarkan kepadaku bahwa Ubaidillah bin ‘Ady bin al-Khiyar telah mengabarkan kepadaku bahwa Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman bin al-Aswad bin Abdul Yaghuts telah berkata, ‘Apa yang menghalangimu untuk berbicara kepada Utsman tentang saudaranya Al-Walid, karena orang-orang sedang sibuk membicarakan tentang permasalahan tersebut. Aku berniat menemui Utsman hingga ia keluar untuk mengerjakan shalat. Kukatakan kepadanya, ‘Ada yang perlu aku bicarakan denganmu yang isinya merupakan nasihat untukmu. Beliau berkata, ‘Hai lelaki menjauhlah!’ -Ma’mar berkata, ‘Aku mengira beliau berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah SWT. dari kejahatanmu.’- Kemudian aku pun kembali menemui keduanya.



Kemudian datanglah utusan dari Utsman dan aku mendekatinya. Ia berkata, ‘Apa isi nasihatmu?’ Aku katakan, ‘Se-sungguhnya Allah telah mengurus Muhammad dengan membawa kebenaran serta menurunkan kitab kepada beliau sedang kamu adalah salah seorang yang memenuhi panggilan Allah dan RasulNya, engkau juga telah melakukan hijrah dua kali, telah menemani Rasulullah saw. dan telah melihat langsung sunnah beliau. Lihatlah masyarakat sedang sibuk membicarakan tentang kasus Al-Walid.’ Ia bertanya, ‘Apakah engkau sempat menemui Rasulullah saw.?’ Aku jawab, Tidak, tetapi ilmu beliau yang murni telah sampai kepadaku sebagaimana sucinya seorang perawan dibalik hijabnya.’



Ia berkata, ‘Amma Ba’du, Sesungguhnya Allah SWT. telah mengurus Muhammad Saw dengan membawa kebenaran dan aku termasuk salah seorang yang memenuhi panggilan Allah SWT. dan RasulNya, aku beriman dan apa yang dibawa beliau, aku juga melakukan hijrah dua kali -sebagaimana yang telah engkau katakan- dan aku juga telah menemani dan membai’at Rasulullah saw. lDemi Allah SWT. aku tidak pernah mendurhakai dan mengkhianari beliau hingga Allah SWT. mewafatkan beliau, demikian juga Abu Bakar ra. dan Umar ra. kemudian aku diangkat menjadi khalifah, bukankah aku memiliki haq seperti haq mereka?’ Aku jawab, ‘Benar.’ Ia berkata lagi, ‘Ada apa dengan berita-berita yang sampai kepadaku? Adapun tentang permasalahan Al-Walid akan kita selesaikan dengan benar insya Allah.’ Kemudian beliau memanggil Ali ra. bin Abi Thalib dan memerintahkannya agar mendera Al-Walid sebanyak delapan puluh kali”



7.Kabar Gembira Bahwa Beliau Mati Syahid



Diriwayatkan dari Qatadah bahwa Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. memanjat gunung Uhud bersama Abu Bakar ra., Umar ra. dan Utsman lantas gunung



tersebut bergetar. Beliau bersabda: “Tenanglah wahai Uhud! -aku perkirakan beliau menghentakkan kakiny tidak ada siapa-siapa di atasmu melainkan hanya seorang Nabi, Ash-Shiddiq dan dua orang syahid.“



8. Tingkat Keistimewaan Beliau



Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. berkata, “Pada zaman Rasulullah saw. Kami tidak menyamakan Abu Bakar ra. dengan sahabat yang lain kemudian Umar ra. Dan kemudian Utsman. Setelah itu kami tidak mengistimewakan antara satu sahabat dengan sahabat yang lain.”



9. Persaksian Ibnu Umar ra. TTG Keistimewaan Utsman dan Pembelaannya Terhadap Beliau



Diriwayatkan dari Utsman bin Mauhab ia berkata, “Seorang lelaki datang dari Mesir untuk melaksanakan haji, lantas ia melihat suatu kaum sedang duduk-duduk, ia bertanya, ‘Siapa mereka?’ Mereka mengatakan, ‘Mereka adalah kaum Quraisy.’ Ia bertanya lagi, ‘Siapa yang paling Alin ra. di antara mereka?’ Mereka jawab, ‘Abdullah bin Umar ra..’ Kemudian ia berkata kepadanya, ‘Wahai Ibnu Umar ra., aku ingin bertanya sesuatu kepada anda maka tolong dijawab! Apakah anda tahu bahwa Utsman lari meninggalkan pasukan pada perang Uhud?’ Ibnu Umar ra. menjawab, ‘Benar.’ Ia kembali bertanya, ‘Apakah anda tahu bahwa ia tidak ikut dalam perang Badar?’ Ibnu Umar ra. menjawab, ‘Benar.’ Ia kembali bertanya, ‘Apakah anda tahu bahwa ia tidak ikut pada Bai’at Ridhwan?’ Ibnu Umar ra. menjawab, ‘Benar.’ Lelaki itu berkata, ‘Allahu Akbar. Ibnu Umar ra. berkata, ‘Kemarilah aku akan jelaskan kepadamu tentang permasalahan tersebut.



Adapun mengenai larinya beliau dari perang Uhud sesungguhnya ia telah mendapat ampunan dari Allah SWT., ia tidak dapat ikut serta dalam perang Badar karena ia sedang disibukkan mengurus istri beliau yakni putri Rasulullah saw. yang sedang sakit dan Rasulullah saw. bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau mendapatkan pahala seorang yang ikut serta dalam perang Badar dan engkau juga mendapatkan bagian pada harta rampasannya.‘



Adapun ketidak ikutsertaan beliau pada Bai’at Ridhwan, kalaulah sekiranya ada



seorang yang lebih terhormat di Kota Makkah selain Utsman tentunya Rasulullah saw akan menggantikan Utsman dengan orang tersebut. Namun Rasulullah saw. tetap mengirimkan Utsman ke Makkah dan Bai’at Ridhwan terjadi setelah kepergian Utsman ke Makkah, Rasulullah saw. mengisya-ratkan dengan tangan kanannya seraya bersabda, ‘Ini adalah tangan Utsman.’ Lantas menepukkannya dengan tangan beliau dan bersabda, ‘Ini adalah bai’at Utsman.’ Ibnu Umar ra. berkata kepada lelaki itu, ‘Nah bawalah berita ini karena sekarang engkau sudah tahu’.”



10. Rasa Malu yang Dimiliki Utsman bin Affan ra.



Imam Ahmad berkata, “Hajjaj telah mengatakan kepada kami dan berkata, Laits



telah mengatakan kepada kami dan berkata, Uqail telah mangabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Yahya bin Sa’id bin al-’Ash bahwa Sa’id bin al-’Ash telah menceritakan



kepadaku bahwa ‘Aisyah ra. Istri Nabi dan Utsman telah menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar ra. me minta izin kepada Rasulullah saw. dan beliau sedang berbaring di tempat tidurnya sambil berselimut dengan selimut ‘Aisyah ra.. Rasulullah saw. Memberinya izin dan beliau masih dalam posisi semula. Setelah Abu Bakar ra. menyelesaikan hajatnya, ia pun pergi. Kemudian Umar ra. datang meminta izin kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. memberinya izin dan beliau masih dalam posisi semula.



Setelah Umar ra. menyelesaikan hajatnya, ia pun pergi. Lalu Utsman berkata, ‘Lantas aku pun minta izin lalu Rasulullah saw. duduk dan bersabda kepada ‘Aisyah ra.1, ‘Ambillah selimutmu!’ Setelah aku menyelesaikan hajatku, akupun pergi. ‘Aisyah ra. berkata, ‘Ya Rasulullah saw.! Aku melihat engkau menyambut Abu Bakar ra. dan Umar ra. tidak seperti sambutanmu terhadap Utsman?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Utsman adalah seorang pemalu, aku khawatir jika aku menyambutnya dalam posisi seperti itu, ia tidak jadi mengungkapkan keperluannya.’



Laits berkata, ‘Sekelompok orang berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda kepada ‘Aisyah ra., Tidakkah aku merasa malu sebagaimana malunya malaikat terhadap dirinya?’.667 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Muhammad bin Abi Har-malah dari ‘Atha’ dan Sulaiman (keduanya adalah anak Yasar) dan Abi Sala-mah bin Abdur Rahman dari ‘Aisyah ra.. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushily dari Suhail dan Ayahnya dari ‘Aisyah ra.. Dan diriwayatkan Jubair bin Nufair dan ‘Aisyah ra. binti Thalhah dari ‘Aisyah ra..”



Imam Ahmad berkata, “Waqi’ telah mengatakan kepada kami dari Sufyan dari Khalid al-Hadzdza’ dari Abi Qilabah dari Anas, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, ” Orang yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar ra., yang paling tegas terhadap agama Allah adalah Umar ra., yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, yang paling hafal tentang al-Qur’an adalah Ubay dan yang paling mengetahui tantang ilmu trans adalah Zaid bin Tsabit. Setiap umat mem-punyai seorang yang terpercaya dan orang yang terpercaya di kalangan umatku adalah Abu ‘ Ubaidah bin al-Jarrah. “668



Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dari hadits Khalid al- Hadzdza’. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”669



11. Kedudukan Utsman bin Affan ra. di Tengah Umat



Imam Ahmad berkata, “Abu Dawud -Umar ra. bin Sa’ad- telah mengatakan kepada kami, ‘Badar bin Utsman telah mengatakan kepada kami dari Ubaidah bin Marwan dari Abi ‘Aisyah ra. dari Umar ra. ia berkata, ‘Rasulullah saw. keluar mendatangi kami setelah terbit matahari dan bersabda, ‘Aku melihat sebelum fajar seakan-akan aku diberi al-maqalid dan timbangan. Adapun almaqalid adalah kunci-kunci dan timbangan adalah alat yang biasa kalian pakai untuk menimbang. Kemudian aku diletakkan pada daun timbangan yang satu dan umatku diletakkan - pada daun timbangan yang lain dan ternyata aku lebih berat. Kemudian didatangkan Abu Bakar ra. dan ditimbang dengan mereka, ternyata Abu Bakar ra. lebih berat dari mereka. Lantas didatangkan Umar ra. dan ditimbang dengan mereka, ternyata Umar ra. lebih berat dari



mereka. Lalu didatangkan Utsman dan ditimbang dengan mereka, ternyata Utsman lebih berat dari mereka. Kemudian mimpi tersebut terputus.’ Hadits hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad’.”670



Sufyan bin Ya’qub berkata, “Hisyam bin ‘Ammar telah mengatakan kepada kami dan berkata,’ Amr bin Waqqid telah mengatakan kepada kami dan berkata, ‘Yunus bin Maisarah telah mengatakan kepada kami dari Abi Idris dari Mu’adz bin Jabal berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ” Sesungguhnya aku melihat bahwa aku diletakkan di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain ternyata aku lebih berat dari mereka. Kemudian diletakkan Abu Bakar ra. di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain ternyata dm lebih berat dari mereka. Lantas diletakkan Umar ra. Di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain ternyata dia lebih berat dari mereka. Lalu diletakkan Utsman di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain ternyata dia lebih berat dari mereka. “671



12. Wasiat Nabi Kepada Utsman bin Affan ra. Agar Tetap Sabar dan Tidak Memenuhi Tuntutan Agar la Turun dari Jabatan



Imam Ahmad berkata, “Abul Mughirah telah mengatakan kepada kami dan berkata, al-Walid bin Sulaiman672 telah mengatakan kepada kami dan berkata, Rabi’ah bin Yazid telah mengatakan kepadaku dari Abdullah bin ‘Amir dari an-Nu’man bin Basyir dari Aisyah ia berkata, ‘Rasulullah saw. mengutus kepada Utsman bin Affan ra. agar ia datang menghadap. Ketika ia datang Rasulullah saw. menyambut kedatangannya. Setelah kami melihat Rasulullah saw. menyambutnya maka salah seorang kamipun menyambut kedatangan yang lain dan ucapan terakhir yang diucapkan Rasulullah saw. sambil menepuk pundaknya, ‘Wahai Utsman mudah-mudahan Allah akan memakaikan untukmu sebuah pakaian dan orang-orang munafik ingin melepaskan pakaian tersebut maka jangan engkau lepaskan hingga engkau menemuiku (meninggal).’ Tiga kali.. Aku katakan, ‘Ya Ummul Mukminin hadits ini aku riwayatkan darimu.’ Aisyah menjawab, ‘Demi Allah aku sudah lupa.’ Kemudian aku beritakan hal tersebut kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun ia kurang yakin hingga ia menulis surat kepada Ummul Mukminin, Tuliskan untukku tentang hadits ini!’ Maka Ummul Mukminin menuliskan tentang hadits tersebut.”673



Abu Abdullah al-Jasry674 telah meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. dan Hafshah seperti



hadits telah lalu.675 Qais bin Abi Hazim676 dan Abu Sahlah dari ‘Aisyah ra..677 Abu Shalah meriwayatkan dari Utsman bahwa Rasulullah saw. meng-ambil suaru perjanjian dariku agar aku sabar melaksanakannya.678 Faraj bin Fudhalah meriwayatkan dari Muhammad bin al-Walid az-Zubaidy dari Zuhry dari ‘Urwah dari Aisyah kemudian menyebutkan hadits tersebut.”679 Adalah Darul Quthny berkata, “Hanya al-Faraj bin Fudhalah yang meriwayatkan hadits ini.”680



13.Persaksian ‘Aisyah ra.Thd Utsman bin Affan ra.



Imam Ahmad berkata, “Abdush Shamad telah mengatakan kepada kami dan berkata, Fathimah binti Abdurrahman telah mengatakan kepadaku bahwa ia berkata, Ibuku telah menceritakan kepadaku bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Aisyah ra. dengan mengutus pamannya, ‘Salah seorang anakmu mengirimkan salam untukmu dan bertanya tentang Utsman yang sedang di-cela oleh banyak orang.’ Beliau menjawab, ‘Semoga Allah SWT. melaknat orang yang melaknat Utsman. Demi Allah waktu itu ia sedang duduk di sisi Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. sedang menyandarkan punggungnya kepadaku dan Jibril sedang menyampaikan wahyu al-Qur’an, beliau bersabda, Tulislah wahyu tersebut ya ‘Utsaim681 (Utsman).’ ‘Aisyah ra. berkata, ‘Tidaklah Allah SWT. menempatkan seseorang pada kedudukan seperti itu melainkan orang tersebut telah bersikap mulia terhadap Allah dan RasulNya’.”682



Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan dari Yunus dari Umar ra. bin Ibrahim al-



Yasykary dari ibunya bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang Utsman di dekat Ka’bah. Kemudian ia menyebutkan hadits tersebut683



14. Berita Tentang Terjadinya Fitnah yang Menyebabkan terbunuhnya Utsman dan Beliau Berada di Atas Kebenaran



Imam Ahmad berkata, “Aswad bin Amir telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Sinan bin Harun telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Kulaib bin Waail telah mengatakan kepada kami dari Ibnu Umar ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw.Pernah menceritakan tentang fitnah dan beliau bersabda, ‘Orang yang menyelimuti mukanya ini, akan terbunuh secara zhalim pada waktu itu.’Lalu aku melihat orang tersebut, ternyata ia adalah Utsman bin Affan ra..”684 Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibrahim bin Sa’ad dari Syadzan. Beliau mengatakan, “Hadits ini hasan gharib dari sisi ini dari hadits Ibnu Umar ra..”685



Imam Ahmad berkata, “Affan telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Wuhaib telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Musa bin ‘Utbah telah mengatakan kepada kami, kakekku dan bapak ibuku Abu Habibah telah mengatakan kepadaku bahwa ia masuk ke dalam rumah dan Utsman sedang terkepung di dalamnya. BeliaU mendengar Abu Hurairah yang meminta izin untuk bicara maka beliau mengizinkannya. Ia berdiri seraya memuji Allah SWT. lantas berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya engkau akan menemui fitnah dan perselisihan setelahku nanti atau beliau berkata perselisihan dan fitnah- salah seorang bertanya, “Siapa yang hams kami ikuti ya Rasulullah saw.?’ Beliau menjawab, ‘Ikutilah al-Amin ini dan para sahabatnya.’ Sambil menunjuk kepada Utsman’.”686 Ibnu Katsir berkata, “Hanya Ahmad yang meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang hasan jayyid. Tidak ada yang mengeluarkannya dari jalur ini.”



Imam Ahmad berkata, “Abu Usamah Hamad bin Usamah687 telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Kahmas bin al-Hasan telah me-ngatakan kepada kami dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata, Harmy bin Harits dan Usamah bin Khuraim (pada saat itu sedang berperang) telah mengatakan kepadaku dan mereka berdua mengisahkan satu hadits, mereka tidak menyangka bahwa masing-masing mereka telah menceritakan hadits tersebut kepadaku dari Murrah al-Bahzy ia berkata, ‘Di saat kami



bersama Rasulullah saw. di sebuah jalan yang ada di Madinah beliau bersabda, “Apa yang akan kalian lakukan jika fitnah menerjang seluruh penjuru bumi bagaikan tanduk sapi?” mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan ya Rasululah?” Beliau menjawab, “Ikutilah orang ini dan sahabat-sahabatnya.” Akupun mempercepat jalanku agar jelas bagiku hingga aku mendekati lelaki tersebut lalu kukatakan, “Apakah dia yang engkau maksud ya Rasulullah saw.?” Rasulullah saw. menjawab, ” Ya dia.” Ternyata lelaki itu adalah Utsman bin Affan ra.. Rasulullah saw. berkata lagi, “Ya dia dan sahabat-sahabatnya.”688



At-Tirmidzi berkata dalam Jami’nya, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, ‘Abdul Wahhab Ats-Tsaqafy telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, ‘Ayyub telah mengatakan kepada kami dari Abu Qilabah dari Abi al-’Ats’ats ash- Shan’any, bahwa para khatib berbicara di negeri Syam dan di antara mereka ada sahabat Nabi | kemudian berdiri orang yang terakhir bernama Murrah bin Ka’ab seraya berkata, ‘Kalau tidak karena hadits dari Rasulullah saw. aku tidak akan berbicara. Lantas ia menyebutkan tentang fitnah dan menyebutkan seorang lelaki yang sedang menyeli-muti mukanya dengan kain, kemudian Rasulullah saw. , bersabda, Adapun din ini pnda saat itu berada di atas petunjuk.’ Maka akupun mendatanginya yang ternyata adalah Utsman bin Affan ra., lalu aku menghadap Rasulullah saw. dan kukatakan, ‘Apa dia yang engkau maksud?’ Beliau menjawab, ‘Benar’.” Kemudian at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini sanadnya hasan shahih.”689



15. Kesungguhan Beliau Dalam Beribadah



Telah diriwayatkan dari berbagai jalur bahwa beliau pernah shalat dengan mambaca semua al-Qur’an pada satu rakaat di kamar al-Aswad pada musim haji. Dan ini adalah ketekunan beliau .690 Kami telah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa ia berkata tentang Firman Allah SWT. , ” (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya.” (Az-ZUmar ra.: 9).



“Bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah Utsman bin Affan ra..”691 Ibnu Abbas dalam mengomentari Firman Allah SWT., “Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atasjalan yang lurus.” (An-Nahl: 76).



Ia berkata, “Maksudnya adalah Utsman bin Affan ra..”692



Hassan berkata, Berkorban hingga beruban sebagai tanda sujud, Memotong malam dengan bertasbih dan membaca al-Qur ‘an.



16. ISTRI DAN PUTRA-PUTRI BELIAU



Beliau menikahi 1. Ruqayah binti Rasulullah saw. dan dianugrahi seorang anak yang bernama Abdullah dan menjadikannya sebagai kuniyah. Pada masa jahiliyah beliau berkuniah Abu ‘Amr.

Setelah Ruqayah wafat, beliau menikahi adiknya yang bernama 2.Ummu Kaltsum dan kemudian .Ummu Kaltsum pun wafat.

Kemudian beliau menikahi 3. Fakhitah binti Ghazwan bin Jabir dan dianugrahi seorang anak yang bernama Abdullah al-Ashghar.

Lantas beliau menikahi 4.Ummu ‘Amr binti Jundub bin ‘Amr al-Azdyah dan dianugrahi beberapa orang anak yang bernama Amr, Khalid, Aban, ‘Umar ra. dan Maryam.

Lalu beliau menikah dengan 5. Fathimah binti Al-Walid bin Abdusy Syamsy bin al-Mughirah al-Makhzumiyah dan lahirlah Al-Walid, Sa’id dan Ummu Utsman.

Kemudian menikahi 6.Ummu al-Banin binti ‘Uyainah bin Hishn al-Fazariyah dan dianugerahi seorang anak yang bernama Abdul Malik dan dikatakan ‘Utbah.

Lantas beliau menikahi 7.Ramlah binti Syaibah bin Rabi’ah bin Abdusy Syamsy bin Abdul Manaf bin Qushay dan lahir beberapa orang anak yang bernama ‘ Aisyah, Ummu Aban, Ummu ‘Amr dan Banat Utsman.

Lalu beliau menikah dengan 8.Na’ilah binti al-Farafishah bin al-Ahwash bin ‘Amr bin Tsa’labah bin al-Harits bin Hishn bin Dhamdham bin ‘Ady bin Junab bin Kalb dan dianugerahi seorang anak yang bernama Maryam dan dikatakan juga dengan ‘ Anbasah.693



Ketika terbunuh, beliau memiliki empat orang istri: Na’ilah, Ramlah, Ummul Banin dan Fakhitah. Dikatakan bahwa beliau telah mencerai Ummul Banin di saat beliau se-dang terkepung.694



17. WASIAT-WASIAT UTSMAN BIN AFFAN RA.



Hisyam bin ‘Urwah berkata dari ayahnya bahwa Utsman memberikan wasiat kepada Zubair. 695 Al-Ashma’i berkata, “Dari al-’Ala’ bin al-Fadhl dari ayahnya berkata, “Ketika Utsman bin Affan ra. terbunuh mereka memeriksa lemari-lemarinya dan mereka dapati di dalamnya sebuah kotak yang terkunci. Setelah mereka buka ternyata isinya adalah selembar kertas yang bertuliskan:



18. Ini adalah wasiat Utsman



Dengan Nama Allah Yang Malm Pengasih lagi Penyayang “Utsman bin Affan ra. bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah SWT. semata tiada sekutu bagiNya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Surga itu benar adanya dan neraka itu juga benar adanya. Bahwasanya Allah SWT. akan membangkitkan manusia dari dalam kubur di hari yang tidak diragukan lagi dan Allah SWT. tidak akan menyelisihi janjiNya. Di atasnya manusia hidup dan di atasnya pula manusia mati dan di atasnya juga akan dibangkitkan kembali insya Allah SWT..”



19 MASA KEKHALIFAHAN DAN UMUR BELIAU



Masa khilafahnya adalah sebelas tahun sebelas bulan dan tujuh belas hari. Beliau dibai’at pada awal bulan Muharram tahun dua puluh empat Hijriyah dan terbunuh pada tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun tiga puluh lima hijrah.696 Adapun usia beliau telah mencapai lebih dari delapan puluh tahun. Shalih bin Kaisan berkata, “Beliau wafat pada usia delapan puluh tahun beberapa bulan.” Dikatakan, “delapan puluh empat tahun.” Qatadah berkata, “Beliau meninggal pada usia delapan puluh delapantahun atau sembilan puluh tahun.”



659 Lihat: Ibnu Sa’adalah, ath-ThabaqatulKubra, 3/53, Ibnu Jarir, Tarikh ar-Rusul walMuluk, 4/420.



660 Beliau mempunyai beberapa kuniyah dan al-Bukhari menyebutkan dalam Shahlhnya, 7/52-a/-Fathbanya dengan kuniyah Abu



Amr. Al-Hafizh dalam al-Fath berkata, “Dan kuniyah ini yang sudah menjadi ketetapan.” Beliau berkata lagi, “Sebagian yang



meremehkan beliau memberi kuniyah dengan Abu Laila mengisyaratkan kepada kelembutan beliau. Gelar beliau yang



termasyhur adalah Dzun Nurain.”



661 Ibnu Sa’ad ath-Thabaqataul Kubra, 3/58, Ibnu Jarir, Tarikh ar-Rusul wal Muluk, 4/419.



662 Ibnu Jarir, Tarikh ar-Rusul’ walMu/uk, 4/419.



663 Al-Musnad, 1/57, dishahihkan oleh Ahmad Syakir, 410. Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-MuJtaba dari Sunamya, 7/318,



Kitab Buyu1, bab Bermu’amalah dengan baik dan bersikap lembut dalam meminta atau tidak bersikap kasar. Ibnu Majah



dalam Kitab Perdagangan pada Bab bertoleransi dalam berdagang, 2/742



664 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asyakir pada Tarikh Kota Damaskus, 11/265.



665 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, 5/63. At-Tirmidzi dalam Sunamya dalam Kitab al-Manaqib pada Bab



Manaqib Utsman bin Affan ra. ^ dan berkata, “Hadits tersebut Hasan Gharib dari sisi yang ini,” 5/626, halaman 3701.



666 Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnys dalam Kitab Fitnah dan Tanda-tanda Hari Kiamat, 4/2237 halaman 2918-2919 dari hadits Abu Hurairah dan jabir egsS. Kisra terakhir Yazdigrid terbunuh di daerah Muru pada tahun ke tiga puluh satu Hijriah ketika Utsman bin Affan ra. masih berjabat sebagaimana KhAli ra.fah <$e -akan datang keterangannya.



667 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnyz, 1/71, Ahmad Syakir, 514 berkata, “Sanad hadits tersebut shahih.”



668 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, 3/184, 281 dan telah dishahihkan oleh al-Albany dalam kitabnya al-



Jami’ash-Shaghir, 908 telah kita jelaskan pada kitab keistimewaan Umar ra..



669 Lihat takhrijnya dalam Kitab Tuhfatul Asyraf, 1/257, hal. 952.



670 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam al Musnad, Ahmad Syakir, 5469, berkata, “Sanad hadits ini shahih.”



671 Al-Ma’rifatu wat Tarikh, 3/357 hadits ini merupakan syahid untuk hadits yang lalu.



672 Pada kitab asli tertulis “Al-Walid bin Muslim” dan koreksi ini diambil dari Musnad Ahmad, blldjika



673 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, 6/86, beliau juga memiliki jalur lain yang beliau keluarkan 6/149.



Dikeluarkan secara ringkas oleh at-Tirmidzi dalam Manaqib Utsman bin Affan ra., 5/628 dan seraya berkata, “Hadits hasan



shahih gharib.” Ibnu Majah dalam Sunamya pada pendahuluan, bab ke 11, 1/41, dari jalan al-Faraj bin Fudhalah dari



Rabi’ah bin Yazid.



674 Dalam kitab asll tertulis “al-Jary” dan perbaikan ini terdapat dalam Musnad Ahmad, 6/263.



675 Al-Musnad, 6/263.



676 Al-Musnad, 6/214.



677 Al-Musnad, 6/52.



678 Al-Musnad, 6/58. Ahmad Syakir berkata dalam tahqiqnya, “Sanad hadits ini shahih.”



679 Riwayat al-Faraj bin Fudhalah di keluarkan oleh Ibnu Majah, 1/41 sebagaimana yang telah diisyaratkan



680 Tidak hanya al-Faraj bin Fudhalah yang meriwayatkan hadits ini tetapi juga diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin ShAli ra.h dari



Rabi’ah bin Yazid sebagaimana yang terdapat dalam at-Tirmidzi dan Al-Walid bin Sulaiman dari Rabi’ah sebagaimana pada



hadits ini.



681 Panggilan orang arab terhadap orang yang disayangi (pent.).



682 Al-Musnad, 6/250.



683 Al-Musnad, 6/261



684 Ahmad Syakir menshahihkan hadits itu dalam tahqiqnya untuk al-Musnad, 8/171.



685 Sunan at-Tirmidzi dalam Kitab al-Manaqib, 5/630, hal. 3708.



686 Al-Musnad, 2/345 dan seperti ini juga sanad dan matan pada Fadhail ash-Shahabah, 1/450, 723 muhaqqiqnya berkata,



“Sanad haditsnya shahih.”



687 Pada kitab aslinya: Abu Usamah teiah mengatakan kepada kami dan ia berkata, “Hammad bin Salam telah mengatakan



kepada kami.” Perbaikan didapat dari al-Musnad.



688 Al-Musnad, 5/35 dengan sanad yang shahih. Beliau juga memiliki sanad yang lain di dalam al-Musnad, 5/33 Bahz dan Abdush



Shamad telah mengatakan kepada kami dan mereka berkata, “Abu Hilal telah mengatakan kepada kami dari Qatadah dari



Abdullah bin Ayaqiq dari Murrah al-Bahz -demikian tanpa ada perantara- lihat Fadhail ash-Shahabah, 1/449. Jalur yang



ketiga di dalam al-Musnad, 4/235 dan akan dikuatkan oleh hadits yang akan datang.



689 Sunan at-Tirmidzi‘dalam Kitab al-Manaqibhadits, 3704, ia berkata, “Pada bab ini dari Umar ra., Abdullah bin Hawalah dan Ka’ab bin



‘Ujrah



690 Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/24 dan Ibnu Sa’ad dalam ath-ThabaqatuI Kubra, 317b dan dishahihkan



oleh adz-Dzahaby daiam Tarikh Islam pada zaman Khulafa Rasyidin, 476. Lihat tambahannya dari pada riwayat-riwayat pada



ThabaqatIbnu Sa’ad, 3/75-76



691. Ibnu Katsir Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 4/47



692 Ibnu Katsir Tafsir al-Qur an al-Azhim, 2/579.



693 Lihat tentang istri-istri dan anak-anak beliau: Mush’ab Zubairy. Nashab Quraisy, 104-105 tetapi ia bercabang pada anaknya



dari Na’ilah ia berkata, “Ummu Khalid, Arwa, Ummu Abaan ash-Shughra, Banat Utsman ibu mereka Na’ilah binti al-



Farafishah.” Lihat juga Ibnu Jarir, Tarikh ar-Rusul wal Muluk, 4/420 dengan sedikit perbedaan pada nama anak-anak beliau.



694 Ibnu Jarir Tarikh ar-Rusul wal Muluk, 4/421, dan Ibnul Jauzy, al-Muntazhim fi Tarikh al-Mulk wal Umam, 4/336.



695 Mush’ab Zubairy, Nashab Quraisy, 106



696 Ini merupakan riwayat kebanyakan ahli sejarah sebagaimana yang telah disebutkan oleh ath-Thabari, 4/415.

 
Design by Blogger Themes | Bloggerized by Admin | free samples without surveys