ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok
sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan
pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun
melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat
dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga
kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya
dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah
akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan
tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.
Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4],
maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah-
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5]
Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan
kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk
salah satu jajaran khalifah Rasul.
Pada tulisan ringkas ini akan dibahas
perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada
pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.
Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:
Di sini akan disebutkan beberapa pendapat
Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:
Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah
karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi
Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki
banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu
Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan
untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai
dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin
Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum
yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu
dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab
(al-Quran) dan as-Sunnah”[6].
Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah
yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks
agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang
disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui
banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab
standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya,
termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar
syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu
banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk
menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar
Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat
diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira
maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah
karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah
Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan
antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi
atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang
getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak
bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?
Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa
hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf
saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:
Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan
engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi
keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]
1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah
gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku
diutus setelahku”.[9]
2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah
(pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali
sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]
3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali
adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]
4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah,
jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di
sisiku)”.[12]
5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah
dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia
(Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan
kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw
sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh
samudera”.[14]
6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya
al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali
didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib
memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]
7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah,
jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia
–yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika
dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas
dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi
yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]
8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan
kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan
datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis
pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam
kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang
menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas
pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar
tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab
Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi
topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan
sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak,
betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat
orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku
tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa
pemuka Ahlussunah.
Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah
ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia
juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini
akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah
tersebut:
1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang
menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak
diketahui (asalnya)”.[19]
2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana
madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin
(maudhu’)”.[20]
3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum:
“Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah
Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]
4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu
Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari
pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali
telah belajar dari Abu Bakar”.[23]
5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya
mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya.
Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya
mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia
tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada
diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya,
sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun
mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]
Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut
akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu
tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang
memeranginya”.[25]
Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah
memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya
buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari
syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin
Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu
Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli
hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah
mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan
dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan
pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana
ia berada”.[26]
Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu
Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini
dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:
1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat
bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu
Bakar dan Umar”.[27]
2. “Ali berperang (bertujuan) untuk
ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana
mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan
jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada
akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]
3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin
telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari
oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan
itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil.
Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang
disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para
penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]
Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah
tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna
mempersingkat pembahasan.
Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam
menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah,
al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz
dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik,
Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum
muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan
(musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai
para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia
mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen
agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari
(kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti
memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran,
atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]
Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah
dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi
jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin
pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal
begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan
dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya
sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas,
baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh
(dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam
mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.
Yang lebih parah lagi, setelah ia
meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya
tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan
konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya.
Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali
dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia
menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang
dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya
-seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa
pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan
pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari
ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:
1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan
pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan
Usman”.[32]
2. “Manusia telah bingung dalam masalah
kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian
berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi
imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara
umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]
3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang
diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai
khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan
atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan:
Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan
(konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali.
Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam
khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu,
mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut
Ali”.[34]
4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali
memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah,
atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat)
tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah
selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib
kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu
Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama
Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal
Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam
Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan
metode (manhaj)-nya.
1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal:
“Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat,
maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan
dengannya”.[36]
2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal
pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan)
Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum,
mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung
kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah
yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat
dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji
bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada
mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]
3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera
imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang
mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan
ungkapan buruk yang hina”[38].
4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata:
“Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para
pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka
mencintai Muawiyah,
dan Khawarij”.[39]
Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk
mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus
berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar
Ahlusunnah wal Jamaah:
1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali
berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu
setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan
terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah
mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini
akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]
2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui
orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi
Thalib”.[41]
3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang
diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati
sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan
oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali
(pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari
petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]
4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi
diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku
mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan
Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein
pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]
5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi
disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta
para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul
bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib.
Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur
tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul
membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad”
(Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]
6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul
bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang
menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain
disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang
menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]
7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi
bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi
perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]
8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah
karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan
kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab
Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau
mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan
al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di
al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah
meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan
kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku
di Haudh kelak di akherat”.[49]
9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu
Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul
memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin
(Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah,
engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”,
beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar
bin Yasir”.[50]
Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal
Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak
menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas
nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah
bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan
buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan
kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa
ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib:
1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin
Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan
Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para
imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan
Usman”.[51]
2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin
Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
(Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia
adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya
oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam
(tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan
yang keras”.[52]
3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada
zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami
diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan
mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari
pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para
ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah
paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat
tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu
(as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar.
Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah
kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki
kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari
sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]
Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka
Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para
sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa
yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang
mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak
pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.
Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal
Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:
Pada bagian kali ini akan kita nukil
beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang
cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan
dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red)
sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]
2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan:
“…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian
terhadap Ali”.[55]
3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah
menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah)
sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]
4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata:
“Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan:
Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]
5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan:
“Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap
Ali”.[58]
6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu
Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh
Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut
(Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan
bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]
Dan masih banyak lagi ungkapan ulama
Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal
dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam
makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga
akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut
Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas
prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua
pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis
al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas
ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah
mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya
(tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia
lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok
Syiah”.[61]
Dari sini jelas bahwa akibat kebencian
terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus
ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah
menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi
ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca
hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling
shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan
biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada
yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan
orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin
Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin
tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang
mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui
kebencian mereka terhadap Ali”.[64]
Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah
menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan
ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga
ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang
menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah
layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah
pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh
al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah
dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan
beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.
Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf
maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan
mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah
yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak
menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari
jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah
dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya
banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari
Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf
saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak
untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf
thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta
gerombolannya.
Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu
Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf”
(Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut
Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran
dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan
(konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal
Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat
pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf
Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya
diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat
tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara
Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara
Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan
mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[www.islamalternatif.net]
[1] Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama
dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran.
Rujukan:
[2] Dalam kitab Mustadrak
as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar
Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang
dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa
al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang
Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke
tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki
kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil
oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul
bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.
[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin
Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya
manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya
Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya
Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.
[4] Dalam kitab Fathul-Bari
disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i,
imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan
Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.
[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2
Hal:62.
[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281,
karya Ibnu Taimiyah al-Harrani.
[7] Lihat Shohih Muslim Kitab:
Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2
Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat
33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6
Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413,
Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278… dan lain sebagainya.
[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398,
karya as-Suyuthi.
[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156,
karya al-Muttaqi al-Hindi.
[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1
Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani.
[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya
al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi.
[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87,
karya Sibth Ibn al-Jauzi.
[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40.
[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya
Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65.
[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400.
[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’)
Hal:239, karya adz-Dzahabi.
[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7
Hal:332.
[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511
& 461.
[19] Ibid Jil:8 Hal:97.
[20] Ibid Jil:7 Hal:515.
[21] Ibid Jil:7 Hal:512.
[22] Ibid Jil:7 Hal: 535.
[23] Ibid Jil:5 Hal:513.
[24] Ibid Jil:6 Hal:18.
[25] Ibid Jil:8 Hal:234.
[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7
Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar
A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239.
[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485.
[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4
Hal:500.
[29] Pernyataan aneh yang terlontar
dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam
kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu
kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan
Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin)
dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh
al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’
az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah
sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut?
Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang
ajarannya hendak ia tegakkan?
[30] Ibid Jil:6 Hal:356.
[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336.
[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404.
[33] Ibid Jil:1 Hal:537.
[34] Ibid Jil:6 Hal:419.
[35] Ibid Jil:4 Hal:682.
[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1
Hal:45.
[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8.
[38] As-Sunnatu Halal Hal:235.
[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.
[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan
dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud
al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:213, dan lain sebagainya.
[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299.
Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam
kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2
Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dan
lain sebagainya.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat
ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6
Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh
an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dan lain sebagainya.
[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1
Hal:259.
[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290.
[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11
Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan
dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.
[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang
sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah
karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dan lain sebagainya.
[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa
juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1
Hal:63.
[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75.
Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak
as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dan lain sebagainya.
[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14
Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2
Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235,
Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit
perbedaan redaksi.
[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33.
Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak
as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186,
Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dan lain sebagainya.
[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213.
[52] Ibid.
[53] Ibid Jil:3 Hal:214.
[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320.
[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi
Hal:26.
[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah
Hal:120-121.
[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200.
[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod
at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35.
[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7.
[60] Hadis yang mengatakan: Ali
waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku).
[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah,
Hadis no: 2223.
[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120
Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601, Hadis
ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114.
[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594
Hadis ke-3717.
[64] Ibid Hal:593.
0 Comments:
Post a Comment