Mirza Ghulam Ahmad, Sekilas Riwayat Hidup
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari
keluarga terhormat. Mirza adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum
ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghul berasal dari Persia.
Sebutan
Hadhrat biasa diberikan orang kepada wujud-wujud suci, atau pada ‘alim
rabbani; sebutan Ghulam merupakan nama famili. Jadi, nama asli beliau
hanyalah Ahmad.
Hadhrat Ahmad dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1835, sesuai dengan 14
Syawal 1250 H, pada hari Jumat di kediaman orang tua beliau sendiri,
Mirza Ghulam Murtadha, di dusun Qadian, yang terletak 24 Km dari kota
Amritsar, Punjab, India.
Keluarga Mirza yang menetap di dusun Qadian itu mempunyai hak atas
seluruh dusun Qadian dan berhak memungut pajak 5 % dari tiga desa
sekitarnya. Setelah mengalami kejayaannya, kerajaan Moghul mengalami
kepudarannya dan menjadi terpecah-pecah, lalu dilanda oleh kebangunan
kembali raja-raja Hindu dan Sikh, hingga musnah sama sekali dengan
datangnya Ingggris.
Di zaman penjajahan Inggris ayahanda beliau berusaha mendapatkan kembali
hak-hak atas tanah milik beliau dengan membelanjakan puluhan ribu
rupees, untuk memenangkan tuntutan di meja hijau, akan tetapi semuanya
tidak berhasil. Sebagai ayah, Mirza Ghulam Murtadha menumpahkan banyak
harapan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, agar sang putra itu kelak
dapat berjuang memulihkan kejayaan dan pamor duniawi keluarga Mirza.
Akan tetapi Hadhrat Ahmad berkecenderungan sebaliknya, bahkan beliau
mengungkapkan perasaan beliau: “Aku tidak menghendaki kekayaan dalam
arti kata duniawi, akan tetapi kaya dalam arti rohani….”
Sekedar hormat dan taat kepada ayahanda, beliau acapkali juga
menyelasaikan perkara-perkara pengadilan membantu ayahanda; akan tetapi
sebenarnya beliau merasa enggan dan hati beliau selalu dekat kepada
urusan rohani
dan mencari kepuasan dalam asyiknya berzikir dan beribdah kepada Allah SWT. Kata beliau dalam sebuah syair:
“Aku punya teman dan aku dipenuhi kecintaan-Nya
Aku merasa muak dengan segala pangkat dan kehormatan
Kulihat dunia dan pengikut-pengikutnya menderita kelaparan
Namun negeri cintaku tak pernah mengalami kekurangan
Manusia cenderung kepada kesenangan dunia
Sedang aku cenderung ke Wajah yang memberi kenikmatan dan kesyahduan”
Hadhrat Ahmad tidak pernah menduduki bangku sekolah, karena memang
sekolah-sekolah tidak ada waktu itu di Qadian. Akan tetapi sebagai anak
dari keluarga terhormat, beliau di asuh oleh guru-guru pribadi yang
mengajarkan Al-Quran dan bahasa Persia. Beliau menunjukan bakat dan
keinginan belajar yang luar biasa, dengan demikian kecintaan kepada
Al-Quran tumbuh dan semakin meresap ke dalam hati sanubari beliau.
Sebagai
orang yang mempunyai pembawaan suci, kebanyakan waktu beliau lewatkan di
dalam mesjid, asyik membaca dan muthalaah Al-Quran dan sering orang
mendapatkan beliau berjalan mondar-mandir di mesjid dengan
sebuah kitab di tangan, satu tanda, otak beiau penuh dengan daya
dinamika, dan hati penuh dengan kecintaan kepada Al-Quran. (Hayatu
Ahmad, 1960 : 4)
Beberapa waktu sebelum Mirza Ghulam Mutadha wafat, Hadhrat Ahmad
bermimpi, seorang malaikat datang kepada beliau dan menasihati beliau
supaya menjalankan ibadah puasa tertentu sesuai dengan sunnah para rasul
Allah dan Waliullah untuk memungkinkan diri beliau menerima rahmat
Allah. Maka beliaupun menjalankan puasa-puasa itu dengan diam-diam tanpa
diketahui orang. Beliau tinggal disebuah kamar ditingkat atas dan
mengatur
agar makanan dibawakan ke kamar beliau. Dengan diam-diam beliau suka
mengundang anak-anak miskin dan anak-anak yatim makan bersama-sama.
Sesudah dua atau tiga minggu berikutnya beliau memutuskan
mengurangi makan beliau sedikit demi sedikit, sampai akhirnya beliau
cukupkan hanya makan sekerat roti saja untuk mengisi perut beliau sehari
semalam. Dalam hari-hari itu banyak ru ’ya yang beliau saksikan.
Pada tahun 1876 ketika Hadhrat Ahmad sedang tinggal di Lahore, beliau
menerima ilham bahwa ayah beliau akan segera tutup usia. Beliau segera
pulang ke Qadian dan mendapatkan ayahanda sedang sakit karena desentri.
Beliau diberi kabar lagi oleh Allah, bahwa ayah beliau akan wafat sesudah matahari terbenam.***
Tampil Membela Islam
Pada masa itu badai perlawanan terhadap Islam menjadi-jadi, menerjang
dari segala jurusan. Perlawanan paling sengit datang dari golongan
Kristen dan dari sekte Hindu Arya Samaj, yang memburuk-burukan nama dan
pribadi Nabi Muhammad SAW., sedangkan orang-orang Islam mereka jadikan
bulan-bulanan, tak ubahnya seperti perahu yang dipermainkan gelombang
samudra. Dengan rasa pedih Hadhrat Ahmad menangkis serangan-
serangan itu dengan mengirimkan artikel-artikel dalam surat-surat kabar.
Disaat menghebatnya serangan-serangan itu beliau acapkali menerima
ilham-ilham yang mengandung kabar ghaib, yang kelak menjadi sempurna
pada waktunya.
Ketika serangan-serangan semakin gencar dan ulama-ulama lain tidak kuasa
menangkis serangan-serangan itu, beliau mengambil keputusan menulis
buku yang terbit dengan nama Barahin Ahmadiyah. Jilid pertama terbit
bulan Mei 1879. Untuk menerbitkan buku itu beliau tidak mempunyai dana,
untuk itu beliau berdoa kepada Allah, dan hasil bantuan pun mengalirlah.
Di dalam buku Barahin Ahmadiyah itu, beliau mengungkapkan keluhuran dan
keindahan Islam serta mengumumkan, bila seorang penganut agama lain
dapat menampilkan keluhuran dan keindahan agamanya melebihi
ajaran Islam, seperti yang diuaraikan beliau, maka beliau bersedia
memberikan hadiah sebesar Rs. 10.000.- (Sepuluh ribu rupees). Ternyata,
tidak seorang pun sanggup memenuhi tantangan itu.
Alim-Ulama Islam, diantaranya ulama besar Maulvi Muhammad Husain
Batalwi, mengakui keunggulan kitab itu dan memuji penyusunnya. Bahkan
ulama besar itu mengatakan, dalam jangka 13 abad, tidak pernah terbit
satu
kitab pun seperti Barahin Ahmadiyah. Kitab itu pun semakin terkenal, dan
dari beberapa kalangan datang anjuran-anjuran kepada beliau agar beliau
menerima bai ’at dari orang-orang, tetapi beliau selalu mengelak,
sampai
akhirnya, Desember 1888, beliau menerima perintah Tuhan, dan beliau
melaksanakan perintah Tuhan itu dengan menerima bai’at yang pertama dari
orang-orang di kota Ludhiana, pada 23 Maret 1889. Pada pembaiatan
pertama itu, kurang lebih 40 orang bai’at ke tangan beliau, diantaranya
adalah Al-Haj Maulvi Hakim Nurudin, yang kelak menjadi Khalifah Al-Masih
pertama setelah Hadhrat Ahmad wafat. (Ibid : 15) ***
Klaim Sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Yang Dijajikan
Dalam tahuan 1890 beliau membuat karya tulis bernama Fath Islam, disusul
kemudian oleh karya berikutnya Taudhih Maram. Kedua karya itu terbit
tahun 1891, bersama karya tulis lain yaitu Izala Auham. Di dalam
buku-buku
tersebut beliau mengumumkan, berdasarkan wahyu yang beliau terima, Allah
SWT., telah menunjuk beliau sebagai Mahdi dan Masih yang Dijanjikan.
Klaim atau pengakuan beliau itu ditunjang oleh banyak ayat-ayat Al-Quran
(diantaranya, 1:7; 24:56; 73:16)., serta Hadits-hadits Rasulullah SAW.,
begitu pula sesuai dengan pernyataan Nabi Isa as., sendiri yang terdapat
dalam Biybel (seperti, kitab Yahya 14:3; Ibrani 4:28; Matius 29:39;
dll).
Kita mencatat, di dalam Kitab Barahin Ahmadiyah, beliau masih memegang
pendirian yang sama seperti kebanyakan kaum Muslimin tentang Nabi Isa
as., yaitu masih hidup dilangit. Akan tetapi pada tahun 1891 ketika
diberi
tahu dengan wahyu bahwa Nabi Isa as., telah wafat, beliau mengubah
pendirian itu. Beliau menyatakan kepada dunia, Nabi Isa as., telah wafat
seperti para Nabi lainnya yang seperti umumnya manusia dan kuburan
beliau
terdapat di Srinagar, Kashmir. (Dard, 1948: 221). Ilmu pengetahuan
moderen belakangan ini telah mengungkapkan penemuan-penemuan baru yang
mendukung dan membenarkan pernyataan beliau diatas. (Baca, Selecta 616
tanggal 9 Juli 1973; dan Varia edisi Juni 1973).
Pada tahun 1986 di kota Lahore diadakan seminar agama-agama atas
prakarsa beberapa tokoh yang bercita-cita hendak menghentikan sengketa
antar agama di India. Dalam seminar itu wakil-wakil berbagai agama
menampilkan lima pokok masalah, dengan syarat isinya tidak menyerang
agama lain dan agar diketengahkan argumen-argumen yang langsung dari
kitab sucinya masing-masing.
Kelima pokok masalah itu adalah sebagi berikut :Keadaan jasmani, akhlak
dan rohani manusia.Keadaan manusia sesudah matiMaksud hidup manusia di
dunia dan Jalan untuk mencapainyaAkibat atau dampak perbuatan
manusia di dunia dan di akhiratJalan-jalan atau sarana untuk memperoleh
ilmu dan ma ’rifat IlahiOleh panitia seminar tersebut beliau pun diminta
ambil bagian dan beliau menjanjikan akan ikut serta dalam seminar itu.
Sebelum
seminar itu berlangsung, beliau menerima kabar dari Tuhan, bahwa makalah
beliau akan unggul. Kabar tersebut beliau umumkan dalam surat-surat
selebaran. Beliau sendiri tidak dapat hadir dalam seminar itu, tetapi
mengutus salah seorang pengikut beliau, Maulvi Abdul Karim, yang mendapat kehormatan membacakan makalah beliau.
Surat-surat kabar saat itu, dalam laporannya masing-masing, mengakui
keunggulan makalah yang ditulis Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu. Seperti,
The Theosophical Book Notes menulis: “Penampilan tentang agama
Muhammad yang terbaik dan paling menarik, yang baru kita jumpai” (Sinar Islam, April 1981:25)
Makalah yang dibacakan dalam seminar agama-agama tersebut telah
diterbitkan dalam berbagai bahasa, diantaranya dalam bahasa Arab dengan
judul: Falsafah al ta’alim al Islamiyah, dalam bahasa Inggris dengan
judul: The
Teaching of Islam, juga dalam bahasa Indonesia dengan judul: Filsafat Ajaran Islam.
Mengenai kearangan itu pula, pujangga kenamaan Rusia, Leo Tolstoy,
menulis: “The ideas are very profound and very true” –
gagasan-gagasannya sangat mendalam dan sangat benar. Harian Bristol
Times and Miror
memberikan ulasan: “Jelas orangnya bukan orang sembarangan jika
berbicara demikian ke khalayak barat itu”. Lalu, The Muslim Review
(India) menulis: “Dengan membaca makalah kecil itu nyata diperhitungkan
untuk
menghilangkan banyak salah pengertian tentang Islam”. (Ibid)
Semenjak beliau menda’wahkan diri sebagai Mahdi dan Masih yang
Dijanjikan, tak ada lagi waktu yang terluang bagi beliau. Beliau seorang
diri menghadapi perlawanan dari pihak-pihak non-Islam yang anti Islam,
dan dari
ulama-ulama Islam yang tidak setuju dengan beliau, yang melancarkan berbagai tuduhan.
Pada tahun 1900, beliau menyempurnakan da’wah beliau kepada pihak
Kristen dengan mengajak padri-padri di Lahore supaya “meminta keputusan
Ilahi, siapa yang berdiri di pihak yang benar dan siapa yangberdiri di
pihak
yag bathil”. Tetapi, tantangan itu pun tidak terbalas.
Pada tahun 1893, terbit pula karya beliau “Aina Kamalati Islam “ berisi
uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama Islam,
serta ajakan dan da’wah beliau kepada Ratu Victoria dari Inggris untuk
memeluk
agama Islam. Dengan kata-kata yang gagah dan berwibawa, beliau menulis:
“Hai, Sri Baginda Ratu. Berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah
dianugrahkan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan duniawi. Kini,
dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah, taatilah Dia, dan sanjunglah
Dia, yang di dalam
Kerajaan-Nya, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat. Wahai,
Sri Baginda Ratu, terimalah Islam, dan Baginda akan selamat…”. (Lihat,
Dard, Life of Ahmad, 1960 : 9).
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pada tanggal 26 Mei 1908, dan
dikebumikan di Qadian setalah berpesan kepada jemaat beliau dalam kitab
beliau yang terakhir, Al-Wasiyat. (ibid., hal 15)
Saat beliau wafat (1908), beliau meninggalkan lebih kurang 400.000.
(empat ratus ribu), orang pengikut. Kini, setelah 97 (sembilan puluh
tujuh ) tahun kewafatannya, jumlah pengikutnya meningkat berlipat ganda,
menjadi
lebih 200.000.000. (dua ratus juta) orang, tersebar di lebih 180 (seratus delapan puluh) negara di dunia.
Fakta ini, tentunya merupakan bukti aktual, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
benar sebagai Utusan Allah, Al-Mahdi dan Al-Masih Yang Dijanjikan
Kedatangannya oleh Rasulullah SAW,. Sebab, jika ia pendusta, palsu,
sebagaimana kerapkali dituduhkan orang-orang yang antipati kepadanya,
sudah pasti, Tuhan tidak akan membiarkan ia hidup bebas, lebih-lebih
memiliki pengikut hingga ratusan juta, tersebar diseluruh dunia. Tetapi,
Dia
(Allah), pasti, akan menumpasnya dan membinasakannya dengan tangan
kanan-Nya, sebagaimana janji-Nya (Lihat, Quran Surah 69, Al-Haqqah :
44-46).
Menarik kesimpulan dari kehidupan beliau, selama masa hayatnya, Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad, telah melaksnakan tugas-tugas suci sebagai
berikut:Memperkenalkan kepada dunia Tuhan Yang Hidup dan Berkata-kata
seperti
dahulu Dia berkata-kata.Menghilangkan segala rintangan dan hambatan yang
menghalangi hubungan antara Khaliq dan makhluq-Nya.Memperkenalkan
kepada dunia, Al-Quran-lah satu-satunya Kitab Suci, dan Muhammad
SAW.,-lah satu-satunya Nabi, yang sanggup menuntun umat manusia ke jalan
kebenaran.Membendung arus orangorang-orang Islam yang menyebrang ke
agama Kristen.Mengembalikan umat Islam di bawah naungan
satu Imam dengan perantaraan Khalifah-khalifah pilihan Tuhan.Membuktikan
kepada dunia, Islam adalah agama yang hidup dan sanggup menjawab segala
tantangan dan persoalan yang menyangkut kehidupan umat
manusia di segala zaman.Hadhrat Ahmad berkata: “Dengarlah, wahai umat
manusia, dan saksikanlah, bahwasanya Allah yang menjadikan langit dan
bumi ini, telah memberi kabar ghaib kepadaku, Dia akan menyebarkan
Jemaat ini diseluruh dunia, dan Dia akan memberi kemenangan kepada
Jemaat ini diatas golongan lain, semuanya dengan jalan keterangan dan
hujjah …. Aku datang hanya untuk menanam benih ini, dan aku telah
menanamnya. Sekarang benih ini akan senantiasa tumbuh terus dan
niscayalah akan berbuah pula, lagi tak ada siapa pun yang dapat
menghalangi kemajuannya”.(Ahmad, Tazkirah, tt. : 635; Dard, 1948 : 445).
***
Pengakuan Kepada Nabi Muhammad Sebagai Khataman-Nabiyyin
Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan tegas menyatakan imannya pada
Khatamun-Nubuwwah Rasulullah SAW. Ia mengemukakan dengan tandas bahwa
Nabi Muhammad SAW., adalah manusia pilihan Allah, dan betul-betul
Khataman-Nabiyyin. “Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi
Muhammad SAW., adalah Khayamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada
Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah SAW), adalah orang yang
tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam” (Ahmad, Taqrir wajibul
I’lan, 1891)“Inti dari kepercayaan saya ialah: Laa Ilaaha Illallaahu,
Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah
utusan
Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan
yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai
saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan
penghulu kami, Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul
Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum
syari ’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu
sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan
satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha
Kuasa”.(Ahmad, Izalah Auham, 1891 : 137).“Martabat luhur yang diduduki
junjungan
dan penghulu kami, yang terutama dari semua manusia, Nabi yang paling
besar, Hadrat Khatamun-Nabiyyin SAW., telah berakhir dalam diri beliau
yang didalamnya terhimpun segala kesempurnaan dan yang sebaliknya tak
dapat dicapai manusia ”. (Ahmad, Taudhih Marram, 1891 : 23).“Yang
dikehendaki Allah supaya kita percaya hanyalah ini, bahwa Dia adalah Esa
dan Muhammad SAW., adalah Nabi-Nya, dan bahwa beliau adalah Khatamul-
Anbiya dan lebih tinggi dari semua makhluk”. (Ahmad, Kistii Nuh, 1902 :
15).“Saya katakan dengan sejujur-jujurnya bahwa kami dapat berdamai
dengan ular berbisa dan serigala buas, tetapi kami tak dapat berkompromi
dengan orang yang melakukan serangan-serangan keji terhadap Nabi
Muhammad yang kami cintai, orang yang lebih kami hargakan dari kehidupan
kami dan orang tua kami”. (Ahmad, Paigham-i-Sulh, 1908 : 30).“Sekiranya
orang-orang ini membantai anak-anak kami di muka mata kami dan
mencincang apa-apa yang kami kasihi sampai berkeping-keping dan membuat
kami mati dengan hina dan malu dan merampas semua harta dunia kami,
maka demi Tuhan, semua itu tidak akan begitu menyakitkan hati kami
seperti yang kami alami atas cacian dan hinaan yang dilancarkan kepada
Nabi kami, Muhammad SAW., ”. (Ahmad, Aina Kamat-i-Islam, 1893 : 52)
Hubungan Kenabian Muhammad dan Ahmad
Sesudah adanya pernyataan yang sungguh-sungguh dan tandas diatas, timbul
pertanyaan: Kenabian macam apakah yang didakwakan Pendiri Jemaat
Ahmadiyah untuk dirinya? Adakah pernah macam kenabian itu
disebutkan dalam tulisan-tulisan ulama masa lampau, dalam hubungan
dengan Pembaharu yang dijanjikan, yang akan diangkat dari antara
orang-orang Islam? Jika tulisan ulama-ulama Islam tempo dulu dengan
tegas
menyatakan kemungkinan adanya macam kenabian itu, maka mengapa
ulama-ulama masa sekarang memfatwakan pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai
kafir oleh karena pendakwaannya atas kenabian itu?
Perlu dicatat, pendiri Jemaat Ahmadiyah tidak mendakwakan macam kenabian
yang dipercayai masyarakat ramai dan ulama-ulama. Menurut mereka
seorang Nabi tidak pengikut dari nabi sebelumnya, bahwa ia mencapai
kenabian itu tidak karena taat dan mengikuti nabi lain, tetapi ia
menjadi nabi karena dirinya sendiri dan bukan menjadi pengikut dari
seorang nabi lainnya.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan tegas menolak kepercayaan itu. Ia
berkata: “Lembaga Kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan di dalam
Nabi Muhammad SAW., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang.
Seorang Nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus
seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW,”. (Ahmad,
Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906 :20 )
Jika demikian apa hubungannya Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan junjungan
dan Penghulunya, junjungan dan Penghulu kita semua, Nabi Muhammad SAW.,?
Pendiri Jemaat Ahmadiyah secara terperinci menerangkan bahwa
kedudukannya dalam hubungan dengan Nabi Muhammad SAW., adalah sebagai
khadim dan hamba yang lemah dan rendah, terhadap Tuan atau
Majikannya. Beliau berkata: “Hamba yang hina ini mendapat kehormatan
juga untuk menjadi salah seorang dari hamba-hamba yang hina dari Nabi
Agung itu yang menjadi Penghulu Nabi-nabi dan Raja Rasul-rasul”. (Ahmad,
Barahin-i-Ahmadiyah, 1884 : 572).
Berulang-ulang beliau menegaskan bahwa beliau bukan Nabi pembawa
syari’at. Beliau adalah pengikut Al-Quran Suci. Benar beliau adalah
Mahdi dan Masih yang Dijanjikan, tetapi beliau bukan Nabi yang berdiri
sendiri. Beliau
seorang khadim yang hina dari Nabi Muhammad SAW., Apa yang diperolehnya
adalah karena beliau (Muhammad SAW.,). Beliau adalah pengikut Rasulullah
SAW., dan ummati, dan telah diangkat untuk menyempurnakan
janji-janji nubuatan-nubuatan Beliau SAW,.
Beliau berkata lagi: “Sesudah Nabi Mugammad SAW., tidak boleh lagi
mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu
menjadi seorang ummati dan pengikuit dari Nabi Muhammad SAW.,” (Ahmad,
Tajalliyat-i-Ilahiyah, 1906 : 9).
Hal ini berarti, tiap karunia yang diterima beliau telah mendapat
kehormatan untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW., Beliau mendapat karunia
Tuhan, bukanlah secara berdiri sendiri.
“Suatu ketinggian, suatu keistimewaan, suatu kehormatan, suatu persatuan
dengan Tuhan, tak akan dapat dicapai kecuali dengan jalan pengabdian
sesempurna-sempurnanya kepada Nabi Muhammad SAW., Apa juga yang
kita terima adalah karena beliau dan dari beliau”. (Ahmad, Izalah-i- Auham, 1891 : 138).
“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu penyerahan seluruhnya
kepada Nabi Muhammad SAW., dan pintu fana seluruhnya ke dalam beliau”.
(Ahmad, Ek Ghalti ka Izala, 1901 : 3 ).
“Saya mendapat karunia ini begitu sempurna bukanlah tersebab sesuatu
jasa saya sendiri, tetapi hanya karena rahmat Allah. Karunia itu ialah
yang telah dianugrahkan kepada Nabi-nabi, Rasul-rasul dan orang-orang
pilihan
Tuhan, yakni sebelum saya. Hal itu tak akan mungkin saya capai sekiranya
saya tidak mengikuti junjungan dan Penghulu saya, kebanggaan Nabi-nabi
dan yang paling sempurna dari mereka, Muhmmad SAW., Apa pun yang
saya terima, hal itu adalah karena penyerahan diri saya kepada beliau.
Saya yakin sepenuh-penuhnya dan sebesar-besarnya bahwa tak seorang pun
akan mencapai kedekatan dengan Tuhan dan memperoleh ilmu-Nya yang
sejati, kecuali dengan mengikuti Rasulullah SAW., ” (Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 : 62).
“Tuhan yang mengetahui rahasia hati beliau, meninggikan beliau diatas
semua Nabi-nabi, mereka yang mendahului beliau dan mereka yang akan
mengikuti beliau. Allah memenuhi semua keinginan beliau dalam masa hidup
beliau. Sesungguhnya beliau adalah mata air dari sesuatu yang baik.
Seorang yang mengatakan memperoleh kesempurnaan tanpa mengakui berhutang
budi kepada beliau, bukanlah seorang mnusia melainkan setan, karena
hanya beliau saja yang dikaruniai kunci kepada segala kesempurnaan. Dan
memang beliau telah dianugrahi khazanah ilmu pengetahuan Ilahi. Orang
yang tidak menerima apa-apa dari beliau, tidak akan menerima apa-apa
dari
seseorang lainnya. Jika terpisah dari beliau, saya tak berarti apa-apa,
sama sekali tak apa-apa. Kita sama sekali berada di puncak kedurhakaan
bila kita tidak mengakui, bahwa hanya melalui Nabi Muhammad SAW., saja
kita
dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tauhid Tuhan Yang
Maha Esa. Sebenarnya adalah dengan perantaraan beliau dan melalui cahaya
kesempurnaan beliau, kita memperoleh kesadaran tentang Tuhan
Yang Hidup ”. (Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 :116 ).
“Saya tak dapat berbuat lain, selain mengulangi dan menyatakan dengan
nyaring, kecintaan sejati kepada Al-Quran Suci dan Nabi Muhammad SAW.,
serta penyerahan sepenuhnya kepada beliau memungkinkan seseorang
untuk melakukan mu’jijat dan bagi orang yang semacam itu terbuka pintu
menuju pengetahuan yang tersembunyi. Seorang pengikut agama lain tak
akan dapat bertanding melawannya dalam persoalan karunia kerohanian.
Kebetulan saya mempunyai pengetahuan tangan pertama tentang keajaiban
ini. Saya naik saksi, bahwa kecuali Islam, semua agama lain sudah tua
renta, Tuhannya telah mati, dan pengikut-pengikutnya hanyalah tinggal
bangkai. Sama sekali tak mungkin, saya ulangi lagi, tak mungkin, untuk
mengadakan hubungan yang hidup dengan Tuhan, kecuali jika orang menerima
Islam ”. (Ahmad, Zamima Anjam-i-Atham, 1897 :61-62 ).
Berulang-ulang, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
menunjukan, beliau tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri, dan
bukan seorang Nabi yang berdiri sendiri. Beliau hanya Nabi dalam arti,
beliau tidak membawa syariat baru, dan beliau hanya diserahi tugas untuk
menegakan kembali dan memperkuat hukum sempurna yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW,.
Beliau juga menyatakan, oleh karena beliau seorang hamba yang hina dari
Nabi Muhammad SAW., beliau telah di karuniai dua senjata sangat ampuh
untuk mewujudkan rencana luhur ini. Senjata-senjata ini pada satu pihak
adalah dalil-dalil yang rasionil dan obyektif, dan pada pihak lain ialah
tanda-tanda langit, dan itu sesungguhnya adalah karunia Tuhan yang
telah dianugrahkan untuk agama-Nya yang terpilih.
Ketika menguraikan kemajuan Islam di Afrika Barat, Cecil Northcatt,
berkata: “Sierra Leone adalah tanah pilihan di Afrika Barat untuk
orang-orang Muslim Ahmadiyah yang membuat kubu pertahanan mereka dalam
negara kecil
ini dengan pengendalian kuat dari Pakistan”.
Tentang missi kedokteran dan sekolah-sekolah ia berkata: “ Jemaat
Ahmadiyah menyatakan bahwa ia menafsirkan Islam dalam
pengertian-pengertian modern dan menjawab tantangan agama Kristen.
Jemaat itu kini sedang
merencanakan akan mendirikan suatu missi kedokteran di Sierra Leone, dan
jumlah sekolahnya sedang bertambah. Menurut penyelidikan resmi yang
paling baru, Islam maju sepuluh kali lebih cepat dari agama Kristen di
Afrika Barat ” (Pakistan Times, 11 Desember 1960 dalam Sinar Islam No. 11, Nopember 1978:9).
Seorang anggota terkemuka dari Missi Kristen di Nigeria, berkata:
“Mereka (orang-orang Islam), adalah masyarakat yang paling terbelakang
kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, tetapi sejak kaum Ahmadiyah
memulai
perjuangan mereka yang progresif maka terjadilah perubahan-perubahan
ajaib diantara mereka” (Catholic Herald, Nigeria, 19-8-1955, dalam Sinar
Islam, Nopember 1978:9).
Dalam pendahuluan terjemahan Al-Quran Suci oleh Asyraf Ali Thanwi
peristiwa ajaib itu dibicarakan pula dalam kata-kata berikut:” Dalam
periode ini Uskup Lefroy meninggalkan Eropa dengan disertai suatu regu
besar
Missionaris Kristen dan ia bersumpah bahwa dalam saat pendek ia akan
memasukan penduduk anak benua India ke dalam agama Kristen. Dengan
dibekali bantuan uang yang besar sekali dan janji-janji bantuan uang
yang
terus menerus, ia tiba di India dan menimbulkan kegemparan besar. Ia
melancarkan serangan dengan dalil bahwa Yesus masih hidup dilangit
dengan tubuh jasmaninya, sedang nabi-nabi lain berkubur di tanah. Dalil
itu
tampaknya efektif, justru disaat ini Mirza Ghulam Ahmad mengibarkan
panji-panji pertahanan Islam dan ia mengatakan kepada Uskup Lefroy dan
kawan-kawannya bahwa Isa Al-Masih telah wafat dan telah dikuburkan
seperti
makhlkuk-makhluk fana lainnya. Al-Masih yang akan datang itu tak lain,
tak bukan adalah saya, katanya. Kalau tuan jujur, tuan harus membenarkan
saya. Dengan strategi ini ia menyerang pertahanan Uskup Lefroy begitu
keras sehingga baginya tak mungkin melepaskan diri sendiri dari
kedudukan yang sulit itu. Karena itu ia menghalau seluruh Missionaris
Kristen dari India ke Eropa ” (Sinar Islam, Nopember 1978:10).
Pendiri Jemaat Ahmadiyah selanjutnya mengatakan, oleh karena beliau
dibangkitkan untuk menegakan kebenaran Islam dan kebenaran Hadhrat
Khatamul Anbiya dan untuk melancarkan dalil-dalil terghadap semua agama
yang tidak benar, Tuhan mewahyukan kepada beliau kejadian-kejaidan di
masa datang dan mengaruniakan tanda-tanda langit kepada beliau,
membukakan kepada beliau kabar-kabar tentang yang ghaib. Keadaan ini
dinamakan kenabian dalam bahasa Arab. Beliau menambahkan: “Perkataan
nabi adalah serupa dalam bahasa Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Ibrani
perkataan itu diucapkan naabi yang diambil dari naba yang berarti
pemberian
nubuatan dari Tuhan. Seorang Nabi tidak harus membawa syari’at. Keadaan
ini adalah anugrah Tuhan dengan mana dikabarkan peristiwa-peristiwa masa
datang”. (Ahmad, Ek Ghalati ka Izala, 1901 : 8 ).
Sehari sebelum wafat, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, menyatakan: “Tuduhan
yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa bentuk kenabian yang saya akui
buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan
perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang
berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti Al-Quran Suci,
dan bahwa kalimah saya lain dan qiblat saya berubah. Juga saya
disangkakan
menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad
SAW,. Tuduhan itu sama sekali palsu. Sesuatu pengakuan kenabian seperti
itu adalah kufur ; ini jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak
permulaan
sekali, saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak
mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan
kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah
ini: Bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya
bahwa Allah SWT., berbicara dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan
saya dan menerima pengabdian saya, dan mewahyukan kepada saya hal-
hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan
dengan masa datang dan yang tidak akan Dia bukakan kepada seseorang yang
tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia
mengangkat saya sebagai nabi, dalam arti itu ”. (Ahmad, Akhbar-i-Am, 26 Mei 1908 : 7; Tabligh-i-Risalat, t.t. : 132-134 ). ***
Qaul ‘Ulama Tentang Kenabian Tanpa Syariat
Bentuk kenabian yang di akui Pendiri Jemaat Ahmadiyah untuk diri beliau,
sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Nabi Muhammad SAW., sendiri,
seperti diriwayatkan oleh Nawwas bin Sam’an, empat kali menyebut nabi
kepada Isa Yang Dijanjikan kedatangannya : 1). “Nanti nabi Allah Isa dan
sahabat-sahabatnya akan terkepung”. 2) “Nanti nabi Allah Isa dan
sahabat-sahabatnya akan memanjatkan doa kepada Allah”. 3) “Kemudian
turunlah nabi
Allah Isa dan sahabat-sahabatnya”. 4) “Maka mendoalah nabi Allah Isa dan
sahabat-sahabatnya”. (Shahih Muslim, Jilid II, Cetakan Mesir, Misykat,
hal 474).
Ulama-ulama terdahulu juga sependapat dengan pengertian Pendiri Jemaat
Ahmadiyah itu. Ahli Hadits, Imam Ahl Sunnah, Al-Imam Ali Alqari (Wafat
1014 H/1606 M), berkata:
“Meskipun begitu kalau Ibrahim (putra Nabi Muhammad SAW.,), hidup dan
diangkat sebagai nabi, dan juga sekiranya Umar (Umar ibn Khatab),
menjadi nabi, tentu kedua beliau akan (tetap) menjadi pengikut Nabi
SAW.,
seperti Isa, Khidir, dan Ilyas, maka hadits: Lau ‘aasya lakaana
shidiiqan-Nabiyan, tidaklah bertentangan dengan Firman Tuhan
Khatamun-Nabiyin, karena Khatamun-Nabiyin berarti bahwa sesudah Nabi
Muhammad SAW., tak
akan datang seseorang nabi yang akan menghapus syariat beliau dan yang tidak akan menjadi ummati, pengkut beliau”.
(Ali Alqari, Maudhuat Kabir, t.t. : 69 )
Muhamadiyah, salah satu organisasi besar Islam di Indonesia, dalam salah satu penerbitannya menyatakan:
“ Tentang kedatangan tuan Yezuz kedoenia kembali, memang rata-rata kaom
Moeslimin mempertjajainya. Hal kepertjajaan Moeslimin tentang
kedatangamn Yezuz kedoenia lagi itoe demikianlah : Sungguh Baginda Nabi
Isa
(Yezuz Kristus), itu akan toeroen ke doenia lagi pada akhir zaman dan
beliau itu akan menghoekoemi dengan syari’at Nabi Moehammad SAW., tidak
dengan syari’atnya; karena syari’at Yezuz itoe, telah terhapoes sebab
soedah
lalunya waktoe jang sesoeai oentoek mendjalankannya. Maka kedatangan
Yezuz itoe nanti menjadi sebagai khalifah ataoe pengganti Nabi kita, di
dalam menjalankan syri’at Beginda Nabi SAW., pada ini oemat” (Windon
Nomer
“Mutiara”, Madjlis H.B. Moehammadiyah Taman Pustaka, Pebruari 1940/Moeharram 1359 Th. Ke IX, hal. 32-34 ).
Kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah terbesar di Indonesia, Nahdhatul ‘Ulama
(NU), juga punya pendirian: “Kita wajib berkeyakinan, bahwa Nabi Isa
as., itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai nabi dan
rasul
yang melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW., dan hal itu, tidak
berarti menghalangi Nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi terakhir, sebab
Nabi Isa as., hanya akan melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW,.
Sedang
madzhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku)”.
(Ahkam-al-Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-1999M, LTN-NU-Diantama,
Cet. Kedua, Januari 2005:50)
Dan, menurut ‘Ulama Nahdhiyin (NU), jika Isa datang dengan menyandang
gelar Nabi tidak bertentangan dengan Firman Allah: Walakir-Rasulallaahi
Wa khaataman-Nabiyyin (Al-Ahzab:40).
“Firman Allah tersebut tidak bertentangan dengan (Hadits) yang
menjelaskan tentang turunnya Isa a.s. di akhir zaman, karena ia tidak
akan datang dengan ajaran yang menghapuskan ajaran Nabi Muhammad SAW.,
namun
justru akan menetapkannya dan mengamalkannya”. (Ibid:51).
Bahkan, menurut ‘Ulama Nahdhiyin (NU), Nabi Isa as., jika nanti ia
datang, ia akan menerima wahyu melalui lisan Jibril as : “Annahu Yuuha
ila-sayidi ‘Iisa ‘alaihi-sholaatu-wassalam, bi syarii’atin-Muhammadin
sholalaahi ‘alaihi
wassalam, ‘alaa lisaani jibriili ‘alaihi-sholaatu-wasslam” --
“Bahwasanya ia, (Isa as.), akan mendapat wahyu untuk melaksanakan
syariat Muhammad SAW., melalui lisan Jibril as”. (Ibid:51)
‘Ulama besar dan Pendiri Darul “Ulum Deoband, India, Maulana Muhammad
Qasim Nanutvee (lahir 1248 H/1833 M; wafat 1279 H/1880 M) menulis:
“Taruhlah seorang nabi diutus sesudah Nabi Muhammad SAW., maka hal itu
sedikitpun tidak menyinggung Khatamiyah dari Nabi Muhammad SAW.,”
(Tahzirunnas, Kharikhwah Sarkar Press, Sharanpur, hal 25, dari Sinar
Islam, Nopember 1978 : 13)
Pendirian dan opini para ‘Ulama tersebut, tentu tidak asal dikemukakan
dan tidak asal ngomong saja. Ia, tentu saja, melandasi pendirian dan
opininya itu, berlandaskan pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Dari kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, antara lain, Prof. Drs. K.H. Hasbullah Bakrry S.H., menyatakan :
“ Menurut pendapat saya, adalah suatu kesalahan yang amat besar telah
dilakukan oleh Majlis Ulama kita baru-baru ini tanpa mendengar lebih
dulu pendapat ulama lain, menyatakan Ahmadiyah bukan Islam (hal ini
pasti
bertentangan dengan ayat Alquran An-Nisa:94 yang mencegah kita
mengkafirkan sesama Islam). Kalau kita tidak boleh mengkafirkan golongan
Syi’ah, begitu juga kita tidak boleh mengkafirkan golongan Ahmadiyah,
sebab
mereka tetap masih mengaku Islam dengan iman Islam. Kiranya para Ulama
di Indonesia dapat menempati posisinya yang benar dalam membangun bangsa
dan negara, amien”. (Kiblat, No.16/XXVII, hal 26 ).
Terhadap sebagian ulama yang suka mengkafirkan, nampaknya telah mendapat
sentilan dari Sufi Besar Syekh Muhyidin Ibnu ‘Arabi. Beliau menyatakan:
“Bila Imam Mahdi muncul, tak ada orang yang lebih menentangnya dari
pada yang dinamakan kaum “fuqaha”, karena mereka kuatir akan kehilangan
kedudukan dan sikap mereka tidak bisa dibedakan dari masyarakat awam”.
(Al Futuhat al-Makkiyah III, hal 374)
Adalah pantas untuk direnungkan, sejauh yang bersangkutan dengan
pernyataan kufur tak ada satu mazhab pun yang terhindar dari tuduhan.
Sebagaimana ditunjukan oleh Laporan Penyelidikan Munir, yaitu laporan
Hakim
Munir tentang keributan di Punjab, Pakistan pada tahun 1953, bahwa kalau
seorang akan menuruti tuduhan kafir itu maka tak seorang Pakistan jua
pun yang akan dapat dinamakan Muslim. Ini adalah akibat diabaikannya
tuntunan Rasulullah SAW., yang berbunyi:
“Seorang yang bershalat sebagai yang kita lakukan, menghadap ke arah
kiblat, memakan apa yang kita sembelih, adalah seorang Islam yang berada
dalam lindungan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, janganlah kamu
membuat malu Allah berkenaan dengan perjanjiannya”.(Shahih Bukhari, Kitab Al-Shalat, Bab Fadhlu Istiqbal al Qiblah, I:56).***
Kepercayaan Yang Dianut Ahmadiyah
Melengkapi uraian ini, berikut diketengahkan kepercayaan penting yang dianut Ahmadiyah, ialah:
Pertama:
Ahmadiyah meyakini sepenuhnya, Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Esa (tunggal) dalam Dzat-Nya, dalam Sifat dan dalam Perbuatan-Nya.
Penyembahan kepada-Nya (ibadah) juga tidak ada sama-Nya. Ahmadiyah
meyakini, Dzat-Nya, sifat dan perbuatan (fi ’il)-Nya, serta dalam ibadah
kepada-Nya tidak boleh dipersekutukan dengan apa pun juga.
Kedua:
Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi sejak alam semesta ini Dia jadikan,
Sifat Allah Yang Mutakallim senantiasa hidup, tidak pernah terhenti pada
masa apa pun juga. Oleh karena itu, Ahmadiyah mempercayai semua Kitab-
Nya, semua wahyu-Nya. Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi diturunkan dalam
bahasa apa saja, dan di daerah, wilayah atau negeri apa saja. Dalam
hubungan itu Ahmadiyah meyakini, Al-Quran Suci adalah syariat terakhir,
sempurna dan lengkap lagi paripurna. Al-Quran adalah syariat bagi
seluruh umat manusia, berlaku selama dunia dan penghuninya masih ada.
Ahmadiyah meyakini, Al-Quran adalah satu-satunya jalan yang dapat
mengantarkan manusia kepada Ilahi, Tuhan Yang menciptakannya. Di dalam
Kitab Suci Al-Quran, semua kebenaran dalam bentuknya yang sempurna, yang
terdapat di dalam kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil, dan sebagainya,
telah tercakup. Ahmadiyah meyakini pula, Al-Quran Suci adalah Kitab yang
diatur tertib dan tersusun baik sebagai layaknya. Dalam Al-Quran tak
ada sepotong ayat pun yang mansukh. Seluruh isinya adalah syariat yang
muhkam, bahasanya adalah bahasa Arab yang menjadi induk semua bahasa
dunia. Semua kitab suci yang turun sebelum Al-Quran telah dihapuskan.
Kebalikannya, tak ada dan tak akan ada Kitab apa pun yang akan
menghapuskan (memansukhkan) Kitab Suci Al-Quran.
Ketiga:
Setiap orang Ahmadiyah (Ahmadi), meyakini dan beriman kepada semua
nabi-nabi. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesuai dengan ajaran Al-Quran,
Allah SWT., mengutus Utusan-Nya dalam tiap umat dan kaum.
Ahmadiyah mempercayai semua Nabi itu benar, suci dan ma ’shum, yaitu
tidak melanggar, tidak berbuat dosa. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, Nabi
Muahmmad SAW., adalah pemimpin semua Nabi. Beliau paling mulia dan
paling afdhal. Kedatangan beliau adalah untuk seluruh umat manusia dan
semua masa. Martabat beliau jauh lebih luhur dan lebih mulia dari semua
nabi. Beliau selalu “hidup”. Oleh karena itu, maka beliau dinamakan
Khataman-Nabiyyin. Semua Nabi memperoleh nikmat rohani karena beliau.
Baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang. Ahmadiyah mempercayai,
orang yang memisahkan diri dari beliau dan ummat-Nya, kemudian
ia mendakwahkan diri memperoleh nikmat rohaniah, dia adalah pendusta,
lancung dan pembohong. Ahmadiyah mempercayai Nabi Muhammad SAW., sebagai
Sayyidul Ma ’shumin (Pemimpin dari semua orang suci tak
berdosa). Ahmadiyah meyakini, beliau adalah jalan dan sebab untuk memperoleh hikmah rohani, kebajikan dan berkat Ilahi.
Keempat:
Ahmadiyah mempercayai Malaikat. Malaikat sebagai ciptaan Tuhan yang
ma’shum, tidak berdosa. Malaikat sebagai alat melaksanakan semua
perintah Allah. Malaikat tidak dapat berbuat dosa. Malaikat pengantar
Kalam Ilahi,
dahulu maupun sekarang, turun kepada orang-orang (hamba) suci memberikan piagam thumanina Ilahi.
Kelima:
Ahmadiyah mempercayai, hari Qiyamat adalah hak, kebenaran Hasyar dan
Nasyar tepat dan benar. Surga dan neraka juga hak. Sesudah mati setiap
insan akan memperoleh ganjaran atau siksaan, sesuai amal perbuatannya.
Nikmat surga adalah kekal abadi, tak kenal henti atau putus.
Kebalikannya neraka adalah tempat menghukum orang berdosa, guna
memperbaiki dan meluruskan mereka yang harus dihukum. Allah adalah
Ar-Rahmaan Ar-
Rahiim, paling pengasih dan paling penyayang. Ahmadiyah mempercayai,
sesudah penghuni neraka itu menjalankan hukumannya dan mereka telah
menjadi lurus, mereka juga akan dimasukan kedalam surga. Tuhan
Sendiri Berfirman: Rahmani wasyi ’at kulla syai’in, bahwa rahmat Ilahi
itu meliputi segala yang ada, termasuk Neraka. Rahmat Ilahi itu harus
terwujud, nyata terbukti.
Ahmadiyah meyakini, yaqin, bahkan haqqul yaqin, lima kepercayaan dasar
tersebut adalah sepenuhnya selaras dengan petunjuk dan kemauan Al-Quran.
Dan, Ahmadiyah juga meyakini, menyimpang sehelai rambut pun
dari petunjuk Al-Quran, adalah penyelewengan yang tak dapat dibenarkan.
Bagi Ahmadiyah, Al-Quran adalah pegangan utama dalam semua soal dan
mengenai semua masalah. Dan, dalam keyakinan Ahmadiyah, Al-Quran
adalah pedoman hidup dunia-akhirat ”. (Al-Busyra, 1970 : 15 ).***
Beberapa Perbedaan
Sepanjang yang berhubungan dengan tauhid ajaran Al-Quran, sepanjang
kepercayaan Ahmadiyah diamalkan sebagai kegiatan hidup beragama, orang
Ahmadiyah tidak bersujud kepada apa dan siapa pun kecuali Allah Yang
Esa dan Tunggal itu. Tidak bersujud kepada kuburan dan tidak pula kepada
sesama manusia. Orang Ahmadiyah hanya mengenal al-Hayyul Qayyum, Allah
Rabbul Alamiin, dalam arti yang sebenarnya.
Kewafatan Nabi Isa as.
Menurut Ahmadiyah, berdasarkan Al-Quran, Nabi Isa as., sudah wafat
secara wajar, sama dengan nabi lainnya telah pulang ke rahmatullah (Ali
Imran, 3:144). Kepercayaan, Nabi Isa as., masih hidup di langit, oleh
Ahmadiyah
dianggap bertentangan dengan ajaran Tauhid Ilahi. Mempercayai Nabi Isa
as., itu hidup di langit sejak 2000 tahun silam dengan jasad kasarnya
dipandang bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan. Oleh sebab itu, orang
Ahmadiyah mempercayai, Nabi Isa as., sudah wafat, wafat seperti manusia lainnya.
Kepercayaan ini berdasarkan bukti-bukti nyata dari Al-Quran. Dalam
kepercayaan Ahmadiyah, sesudah Dzat Suci Allah SWT., dari antara semua
Nabi dan Rasul, insan yang paling luhur martabat dan kemuliaannya,
adalah
Nabi Muhammad SAW,. Menurut pengertian Ahmadiyah kepercayaan terhadap
kehidupan Al-Masih secara luar biasa itu adalah kepercayaan Nasrani.
Kemudian oleh sebagian orang Islam dianut sebagai kepercayaannya.
Kepercayaan ini bertentangan dengan kemuliaan dan keluhuran martabat
Rasulullah SAW,. Oleh sebab itulah maka orang Ahmnadiyah tidak keberatan
kalau dikatakan bersikeras terhadap kematian Al-Masih itu dan berusaha
meyakinkan semua orang terhadap kematian beliau itu. Ini boleh dikatakan
salah satu bagian kepercayaan yang membedakan orang Ahmadiyah dengan
lainnya. (Lihat, Al-Qaul Ash Sharih, 1960:12)
Masalah Nasikh-Mansukh
Hal lainnya yang membedakan orang Ahmadiyah dari yang lain dalam
kepercayaannya, ialah : masalah nasikh-mansukh. Kalangan Ahlus-Sunnah
wal Jamaah dan kalangan Syi’ah menganut faham nasikh-mansukh. Kalau
mereka berbeda, hanya dalam masalah banyak ayat. Ada yang mengakui lima
ratus ayat yang mansukh, ada yang mengakui dua ratus, dan ada yang
kurang dari itu.
Ahmadiyah, dalam hal ini berpendapat, tak ada sebuah ayat pun dalam
Al-Quran yang mansukh, bahkan satu kata atau satu huruf pun tak ada yang
mansukh. Seluruh isi Al-Quran utuh sempurna dan tak ada yang
dimansukhkan.
Kesinambungan Kenabian dan Wahyu
Seperti telah disebutkan diatas, orang Ahmadiyah mempercayai bahwa
Rasulullah SAW., itu adalah satu-satunya wujud suci yang menjadi jalan
dan sumber kelimpahan nikmat rohani yang berkelanjutan. Kepercayaan
Ahmadiyah itu didasarkan pada Al-Quran (An-Nisa, 4:69).
Berdasarkan ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, maka Ahmadiyah
mempercayai, dengan pengikutan sempurna kepada Rasulullah SAW., dengan
karunia dan fadhl Allah, maka di dalam umat Muhammad SAW., dapat menjadi
nabi-ummati, orang siddiq (benar dan membenarkan Allah dan Rasul-Nya),
menjadi orang syahid dan bisa menjadi wali atau orang saleh dan
baik-baik. Kepercayaan orang-orang Ahmadiyah ialah, dengan pengikutan
sempurna kepada Nabi Muhammad SAW., yang hidup itu, dengan pengikutan
sempurna kepada Al-Quran, Kalam Allah yang penuh kehidupan dan kasih
sayang itu, karunia Allah senantiasa akan terus berlangsung dan akan
diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (Ali Imran, 3:179,
72:26-27). Pendiri Ahmadiyah pun berkata: “Hendaknya jangan kamu mengira
bahwa wahyu Ilahi tidak ada lagi, dan hanya berlaku dimasa lampau saja,
dan
pada waktu sekarang Rohulqudus tidak dapat turun dan hanya turun pada
zaman dahulu saja. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, segala pintu
dapat tertutup, akan tetapi pintu untuk turunnya Rohulqudus tidak
tertutup untuk selamanya. Andaikata kamu sekalian menutup jendela yang
melaluinya sinar matahari masuk, berarti kamu menjauhkan dirimu sendiri
dari sentuhan sinar matahari. Wahai orang yang tidak faham, bangkitlah!
Bukalah jendela itu, maka dengan sendirinya matahari akan menyelinap ke
dalam dirimu. Jika pada jaman ini Tuhan tidak menutup jalan anugrah
duniawi bagimu, bahkan membukakannya selebar-lebarnya, apakah kamu
punya persangkaan bahwa Dia telah menutup jalan anugrah samawi bagimu?
Sekali-kali tidak! Bahkan pintu itu telah dibukakan seterbuka-terbukanya
…..”.(Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997:38)
Pengakuan Terhadap Khulafaur-Rasyidin
Setelah wafat Rasulullah SAW., dalam hubungannya dengan masalah Khilafah
antara kalangan Sunni dan Syi’ah terdapat pertentangan yang besar.
Kalangan Sunni menerima dan mengakui susunan para Khalifah Rasyidin:
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sementara kalangan Syi’ah dalam hal ini
hanya mengakui Ali ra., sebagai Khalifah tak terputuskan dan yang benar.
Sedang para Khalifah yang lain (na’udzubillah), bukan Khalifah dan
bukan
pula orang mukmin dalam arti sebenarnya.
Berkenaan dengan para Khalifah Rasyidin: Abu Bakar ra., Umar ra., Usman
ra., dan Ali ra., Ahmadiyah mempercayainya sebagai Khalifah yang benar,
keempat-empatnya benar, suci dan memiliki kebajikan.
Sikap Terhadap Para ‘Alim Rabbani
Mengenai para ‘Ulama Rabbani, para imam, terutama yang berjasa kepada
Islam, pendirian Ahmadiyah ialah menghormati mereka. Khusus para imam
dan ‘ulama rabbani baik dari kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah
maupun dari kalangan Syi’ah, bagi Ahmadiyah menghormati mereka adalah satu syi’ar yang diutamakan.
Masalah Fiqh
Masalah fiqh, pendirian kalangan Sunni berbeda dengan kalangan Syi’ah
sampai kepada masalah penting seperti masalah halal-haram, keduanya
mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam pegangan dasar urusan ibadah,
antara keduanya juga terdapat perbedaan yang menonjol. Dalam urusan
shalat, adzan, wudhu, antara kedua kalangan ini terdapat perbedaan yang
cukup menyolok.
Dalam masalah fiqh, Ahmadiyah berpendirian, harus mengutamakan Al-quran
dahulu diatas segalanya, karena ia sebagai landasan dasar, sesudah itu
sunnah Rasulullah SAW., kemudian hadits Nabi. Sesudah itu semuanya
barulah para fuqaha meletakan dasar ijtihad dan ijma ’ yang bertitik tolak dari ketiga sumber tersebut diatas.
Ijtihad
Dalam hal urusan Juziyyat, Ahmadiyah mengamalkan fiqh Imam Hanafi. Akan
tetapi masalah-masalah baru yang timbul pada suatu kondisi atau keadaan,
maka dengan dasar petunjuk-petunjuk Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
dimanfaatkan sebaik-baiknya hokum fiqh dari semua imam dan semua
golongan dalam Islam, guna memecahkan persoalan, mengadakan ijtihad.
Dengan demikian Ahmadiyah menganggap pintu ijtihad itu tetap terbuka
bagi ‘alim-ulama Ahmadiyah (Al-Busyra, Juni 1970:5).
Metodologi Penafsiran Al-Quran
Tafsir Al-quran. Berkenaan dengan cara penafsiran Al-Quran, Ahmadiyah mempunyai pendirian diantaranya sebagai berikut:
Pertama:
Memberikan tafsir dengan berpedoman kepada Al-Quran sendiri. Dengan
pengertian petunjuk : “Al-Quran yafassiru nafsahu”, yaitu suatu bagian
Al-Quran menafsirkan bagian lainnya.
Kedua:
Tafsir itu berdasarkan pedoman Sunnah Rasulullah SAW,. Imam Syafi’I ra.,
berkata: “Segala yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW., itu semuanya
adalah dari apa yang difahami beliau dari Al-Quran”. Singkatnya, Imam
Syafi’i dalam Ar-Risalah, menyatakan, sunnah itu menjadi keterangan yang
menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, maka sunnah menjadi bayan takhsis,
keterangan yang menentukan sesuatu dari yang umum.
Ketiga:
Berpedoman kepada Hadits-hadits Nabi SAW., yang banyak membantu memahami
makna dan tujuan tidap ayat Al-Quran. Dengan sendirinya, hadits nabi
SAW., itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak pula
mungkin bertentangan dengan sunnah atau amal perbuatan Rasulullah SAW,.
Keempat:
Berpedoman kepada lughah, yaitu bahasa Arab, bahasa Kitab Suci Al-Quran
sendiri. Untuk itu, orang Ahmadiyah sedapatnya mempelajari masalah ini
sampai kepada akar-akar bahasa, terutama manakala terbentur pada soial
yang pelik, yang memerlukan ketelitian dan kejelian.
Kelima:
Berpedoman kepada akal, salah satu nikmat Allah yang penting dan
diperlukan untuk menghadapi segala masalah. Akal adalah anugrah Allah
yang di dalam Al-Quran sendiri diakui bahkan dianjurkan untuk
dimanfaatkan. Allah
SWT, berulangkali menyebutkan dalam Al-Quran, seperti afalaa ta ’qilun,
afalaa tatafakaruun, apakah kamu tidak mempergunakan akal dan fikiran?
(Yunus, 10:16; Al-An’am, 6:50 ).
Dalam tafsir Ahmadiyah tidak terdapat kisah-kisah kosong Israiliyat,
atau dongeng-dongeng yang bertentangan dengan kesucian dan kemurnian
Al-Quran sendiri, tidak akan di dapat hal-hal yang menyinggung
kehormatan
para nabi, para malaikat, apalagi kesucian dan keluhuran Allah SWT., dan Rasul-rasul-Nya.
Bahwa tafsir Ahmadiyah dapat diterima baik oleh para ahli, sarjana dan
cerdik pandai muslim, dapat dibuktikan dengan dipergunakannya tafsir
Ahmadiyah itu sebagai referensi oleh para sarjana dan ulama yang
menafsirkan
Al-Quran dalam panitia penterjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh
Depatemen Agama R.I. Di Mesir, karya Ahmadiyah itu mendapat sambutan dan
pujian. Ahmadiyah menyebarkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa di
dunia. Dalam hubungan karya Ahmadiyah yang mempersembahkan Al-Quran ke
dalam bahasa Jerman, berkala Perguruan Tinggi Agama di Mesir, yang
paling terkenal, memberikan sambutan yang sangat menarik.
Sambutan itu ditulis oleh Dr. Muhammad Abdul Wahab, Direktur Institut
Urusan Agama dan disiarkan dalam majalah Majallatul Azhar, terbitan
Pebuari 1959.
Adalah tidak mengherankan jika para tokoh dunia pun berkomentar, sbb:
“ Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa fasal dari Ahmadiyah
tidak saya setujui dan malahan saya tolak,….., tokh saya merasa wajib
berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah
saya
dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasional, moderen, broad
minded dan logis itu”. (Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi : 346;
Sinar Islam, Januari 1984 : 57 )
“Pengaruh Jemaat Ahmadiyah memang jauh sekali. Ini disebabkan
kepercayaan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan pengikutnya, bahwa jihad dengan
pedang bukanlagh masanya sekarang. Yang diperlukan ialah jihad dengan
pena, jihad dengan lisan dan tulisan. Pendirian mereka ini tidak sejalan
dengan pendirian umat Islam lainnya, tetapi hakikat yang nyata ialah,
kemampuan jihad dengan pedang tidak ada pada Ahmadiyah dan tidak pula
terdapat
pada umat Islam lainnya. Karena kepercayaan umum umat Islam terhadap
jihad dengan pedang itu, maka akhirnya jihad ‘am dan dakwah pun tidak
dilakukan. Orang Ahmadiyah yang mengakui jihad dengan dakwah itu
merekalah yang melakukannya dengan menganggapnya sebagai kewajiban. Di
sini mereka berhasil dan sukses”. ( Muhammad Akram M.A., Maud-i-Kauthar,
193-194; Ibid )
“Diatas nama Islam dan kaum Muslimin se-Dunia kita memuji sungguh kepada
pergerakannya Ghulam Ahmad tentang mereka banyak menarik kaum Nasrani
(Kristen) masuk agama Islam di tanah Hindustan dan lain-lain
tempat…..”. (Dr. H.A.Karim Amarulah, Al Qaulus-Shahih : 149; Ibid )
“Adapun kaum Ahmadi (Ahmadiyah), dan usahanya melebarkan Islam di benua
Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada
juga. Mereka menafsirkan Qur’an ke dalam bahasa-bahasa yang
hidup di Eropa. Padahal zaman 100 tahun yang lalu masih merata
kepercayaan tidak boleh menafsirkan Qur’an. Penafsiran Quran dari kedua
golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang mengingini
kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali buat memperdalam selidiknya
tentang Islam…..”. (Prof. Dr. Hamka, Pelajaran Agama Islam, Cet. I :
199; Ibid )
Baik pula dikemukakan disini, Ahmadiyah menganut suatu kepercayaan
pokok: segala kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran tauhid, atau
kepercayaan yang dapat menyentuh kehormatan dan nama baik Rasulullah
SAW., oleh Ahmadiyah tidak diterima, dan tidak mungkin di anut.
Sebabnya, ialah: dasar aqidah Ahmadiyah adalah Tauhid Ilahi yang murni
dan keagungan serta kemuliaan Rasulullah SAW,.
Semua orang Islam sepakat, Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyiin,
karena Allah menamakan beliau demikian. Namun mengenai makna dan
pengertian Khaataman-Nabiyyiin itu, tafsirnya terdapat perbedaan antara
Ahmadiyah dan ulama lainnya. Ahmadiyah memandang Rasulullah SAW.,
sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan kedudukan yang paling luhur dan
afdhal dalam segala hal. Ahmadiyah tidak melihat suatu kelebihan dalam
arti
penutup atau penghabisan dari segi masa dan waktu. Rasulullah SAW., di
pandang oleh Ahmadiyah sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan pengertian
martabat yang paling luhur yang beliau miliki itu, melebihi siapa pun
juga.
(Lihat, Al-Qaul al-Sharih, 1961:170). ***
Kesimpulan:
Dari uraian terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari kehidupan yang lurus dan penuh cinta pada Islam, Pendiri Jemaat
Ahmadiyah di akui oleh pengikutnya sebagai Mahdi dan Masih yang
dijanjikan Rasulullah SAW., setelah Pendiri Ahmadiyah itu menyatakan
pengakuannya sebagai Mahdi dan Masih dengan pangkat nabi yang tidak
membawa syariat baru. Ia menjalankan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW,.
2) Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah banyak berbuat untuk mempertahankan
kehormatan Islam dan Nabinya, Muhammad Rasulullah SAW., diantaranya
nampak dari karya tulisnya yang banyak dan diakui oleh kalangan lain.
3) Nabi yang tidak membawa syari ’at baru setelah Nabi Muhammad SAW.,
dapat terjadi dan ini bukan sekedar pendirian Ahmadiyah, tetapi juga
kalangan umat Islam yang lain.
4) Ahmadiyah berkeyakinan, kepercayaannya adalah kepercayaan Islam,
berdasarkan Al-Quran, Al-Sunnah, dan Al-Hadits. Dan kemenangan Islam
akan terjadi melalui ilmu, akhlak karimah dan secara damai.
5) Perbedaan pemahaman dan penafsiran tentang masalah agama, tidak perlu
membawa umat Islam saling mengkafirkan. Banyak petunjuk dari Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah SAW., agar umat Islam saling hormat
menghormati, meskipun mempunyai pemahaman keagamaan yang berbeda.***
Sumber tulisan ini dari
Ali Abu Bakr Basalamah, Muslim Ahmadi asal Purwokerto, Jateng yang menjadi dosen IAIN Jogjakarta
Penyunting: (SYAEFUL ‘UYUN)
Makassar, 02 Oktober 2005
*) Makalah ini disampaikan dalam Debat Publik bertema: AHMADIYAH,
PATUTKAH DISALAHKAN?, yang di selenggarakan oleh LDK-LDM dan FKI-K
Universitas Muslim Indonesia, Minggu 02 Oktober 2005, di Auditorium Al
Jibra
Kampus II UMI, Makassar.
0 Comments:
Post a Comment