Thursday, October 17, 2013

TAFSIR QURAN ULAMA INDONESIA








Tafsir adalah suatu usaha dalam menyingkap dan mengungkap makna
dibalik ungkapan-ungkapan bahasa Al-Qur'an dengan maksud untuk mentransfer faham
dibalik lafadz yang tersurat, baik dipandang dari sisi sebab-sebab turunnya
Al-Qur'an
dan lokasi diturunkannya
Al-Qur'an, termasuk juga membahas hukum yang terkandung
didalamnya.


Pada awalnya kitab-kitab tafsir yang diusahakan pada masa sahabat,
tabiin, dan tabiit tabiin (pengikut tabiin) ditulis masih dalam bahasa Arab
karena mereka hidup dikalangan orang-orang yang berbahas arab. Kelemahan tafsir
ini antara lain yaitu tafsir mereka hanya dapat di fahami oleh orang yang
mempunyai kemampuan dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup, srta contoh-contoh
yang mereka buat belum tentu pas dalam semua kondisi setiap daerah. Padahal
tujuan tafsir adalah untuk mengunkap dan memperjelas makna dibalik kata-kata
Al-Qur'an
yang menggunakan bahasa arab dan dan harus bisa dengan lebih mudah difahami
masyarakat dimana
Al-Qur'an itu ditafsirkan guna memantapkan pemahaman
masyarakat terhadap pesan-pesan al-quran itu sendiri.


Nah dengan maksud memudahkan umat Islam yang ada di indonesia dalam
memahami isi dan kandungan
Al-Qur'an, maka usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an dengan bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para cendikia islam yang
berbahasa indonesia, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan dan
penafsiran Al-quran oleh mufassir Tanah Air tidak hanya ditransfer ke dalam
bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu.


Penulisan kitab terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad
ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur Rauf Singkily seorang ulama asal Singkil di
Aceh menyusun sebuah kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang diberi judul
Turjuman al-Mustafid.


Upaya penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an dalam bahasa Melayu
diteruskan pada periode selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan
nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir al-Munir li Ma'alim
at-Tanzil al-Musfir 'an Wujuh Mahasin at-Ta'wil yang disusun Syekh Nawawi ini
diterbitkan di Makkah pada permulaan tahun 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa
kali dicetak ulang dan banyak beredar di kawasan Timur Tengah.


Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga memasuki abad ke-20 M, mulai
bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan tafsir Alquran karya para ulama
dalam negeri. Di antaranya,
Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahan Maknanya karya
Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967. Tafsir ini hanya terdiri atas satu
jilid, namun penafsirannya mencakup 30 juz.


Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir
dalam bahasa daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir
Al-Qur'an berbahasa Sunda
yang disusun oleh KH MHD Ramli. Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir
dalam bahasa Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir
Al-Qur'an
Suci.


Penulisan tafsir Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia secara lebih
lengkap dalam satu jilid baru dilakukan oleh H Oemar Bakry melalui kitab Tafsir
Rahmat yang terbit pada tahun 1981. Penafsiran dalam kitab ini dilakukan
berdasarkan urutan surah dan ayat dalam
Al-Qur'an tanpa mengelompokkan ayat
sesuai dengan masalah yang dikandungnya. Yang membedakan kitab Tafsir Rahmat
dengan kitab-kitab tafsir karya ulama Indonesia sebelumnya adalah setiap surah
yang akan ditafsirkan didahului oleh suatu pendahuluan yang berisi uraian
tentang nama atau nama-nama lain surah tersebut, jumlah ayat, hubungan antar surah,
dan pokok isi surah. Penafsiran surah diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan
mengenai kandungannya.

Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim Indonesia juga mengenal Tafsir
al-Azhar yang disusun oleh Hamka yang terbit pada tahun 1983. Kitab ini terdiri
atas 15 jilid dan setiap jilid berisi penafsiran dua juz
Al-Qur'an. Di setiap
awal surah yang ditafsirkan, diuraikan lebih dahulu beberapa hal yang berkaitan
dengan surah dan pokok isinya. Selain itu, setiap ayat juga disertai dengan
terjemahannya. Masalah pokok yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu diuraikan
dan ditafsirkan secara panjang lebar.


Selain kitab tafsir yang disusun secara perorangan, Muslim di Tanah
Air juga mengenal karya tafsir yang dibuat secara kelompok atau oleh lembaga.
Di antaranya Al-quran dan Terjemahannya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara
Penerjemah
Al-Qur'an atas penunjukan oleh Departemen Agama RI. Al-quran dan
Terjemahannya terbit pertama kali tahun 1971 dan sejak tahun 1990 terjemahannya
telah mengalami revisi.


Dari panjangnya perjalanan usaha ulama indonesia dalam menyusun karya
penafsiran
Al-Qur'an maka tahapan itu di kelompokkan berdasarkan periode-periode
tertentu, akan tetapi pada dasarnya periode awal abad 20 sampaitahun 1960 an
cukup memberikan kontribusi yag sangat berharga dan dapat dikatakan penafsiran
setelahnya merujuk pada tafsir-tafsir yang mereka buat.


Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model
dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks
Al-Qur'an
yang menjadi objek tafsir, literature tafsir pada periode pertama ini cukup
beragam. Pertama, ada literature tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat
tertentu sebagai objek penafsiran, misalnya Tafsir
Al-Qur'anul Karim, Yaasiin
(Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis; Tafsir Surat Yaasien dengan
keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan. Kedua literature ini
berkonsentrasi pada surat Yaasiin.


Masih dalam konteks objek tafsir surat tertentu, ada yang berkonsentrasi
pada surat Al-Fatihah, yaitu: Tafsir Al-Qur’anul karim, surat Al-Fatihah
(Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris, Rahasia Ummul Qur’an atau
Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Institute Indonesia, 1956) karya A. Bahry,
Kandungan Al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960) karya Bahroem Rangkuti, dan
Tafsir Surat Al-Fatihah (Cirebon: Toko Mesir, 1969) karya H. Hasri.

Kedua, karya Tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu. Pada bagian ini
yang muncul hanya juz 30 (Juz ‘Amma) yang menjadi objek tafsir. Contoh dari
model ini adalah : Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang : Al-Munir, 1922) karya
H. Abdul karim Amrullah, Al-Hidayah Tfsir Juz ‘Amma (Bandung: Al-Ma’arif, 1930)
karya A. Hassan, Tafsir Djuz ‘Amma (Medan: Islamiyah, 1954) karya Adnan Yahya
Lubis, Tafsir Al-Qur’anul Karim : Djuz ‘Amma (Jakarta: Wijaya, 1955) karya
Zuber Usman, Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif,
1958) karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Juz ‘Amma (Surabaya: Usaha
Keluarga, 1960) karya Mustafa Baisa, dan Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa
Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1960) karya M. Said.


Ketiga, ada yang menafsirkan Al-Qur’an utuh 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an
Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus yang
untuk kali pertama diselesaikan penulisannya pada tahun 1938. Lalu Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, 1956, edisi ke-9) atau dikenal dengan nama
tafsir tiga serangkai karya H. A. Halim Hassan, H. Zainal Abbas, dan
Abdurrahman Haitami, Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1959) karya H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qur’an Al-Furqan (Jakarta: Tintamas,
1962) karya Ahmad Hassan, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pembina Mas, 1967, cetakan
1) karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Bayan
(Bandung: Al-Ma’arif, 1966) karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’an
Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1932 karya Ahmad Surkati.


Penulisan Tafsir Al-Furqan karya A.Hasan berlangsung dalam kurun waktu
1920-1950-an. Terbagi ke dalam empat edisi penerbitan sampai sekarang.edisi
pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum
seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang
diharapkan oleh umat islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan
anggota Persatuan Islam, edisi kedua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada
tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun
1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang
pengusaha yang bernama Sa’ad Nabhan hingga akhirnya Tafsir Al-Furqan dapat
diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956,
yang kemudian pada tahun 2006, Tafsir Al-Furqan kembali diterbitkan oleh
Pustaka Mantiq bekerjasama Universitas Al-Azhar Indonesia dalam satu jilid.


Pada masa Prof. H. Mahmud Yunus boleh dibilang ia adalah satu-satunya
intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran al-Qur’an. Dia memulai kegiatannya
dengan menggunakan tulisan pego, yakni bahasa melayu atau bahasa Indonesia yang
berbentuk tulisan arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan
karya terjemahan al-qur’an, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan Maknanya.


Metode Tafsir Periode pertama, awal abad 20 M sampai tahun 1950-an, ada
yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyah
(tarjamah maknawi). Di antaranya seperti Tafsir al-Furqan, yang ditulis oleh A.
Hassan. Penulisan kitab tafsir ini dimulai tahun 1928, dan selesai tahun 1956.
Dan Tafsir al-Qur’an Karim (tiga serangkai) yang ditulis oleh H. A. Halim
Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami pada tahun 1937. Tafsir
ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20 halaman, yang terbit tiap
bulan.


Dan ada juga yang ditulis dengan menggunakan metode Maudhu’I (tematik).
Diantaranya seperti Tafsir Al-Qur’anul karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951)
karya Adnan Yahya lubis, dan Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil:
Persis, 1951) karya A. Hassan.


Adapun rujukan ulama-ulama tafsir Indonesia ini merujuk kepada ulama-ulama
periode klasik seperti Ibnu Katsir dan As-Suyuti, juga kepada ulama-ulama
periode pertengahan seperti Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, dan Ahmad Mushtafa
Al-Maragy.


Demekianlah usaha yang telah diupayakan oleh ulama mufassir indonesia
tentunya penafsiran-penafsiran mereka cendrung lebih mudah difahami oleh
masyarakat yang membutuhkan penafsiran al-quran dalam mengambil isi kandungan
al-quran, hal ini disebabkan tafsirnya berbahasa yang sama dengan masyrakat dan
pemberian contoh-contoh dalam penafsirannya pun cendrung disesuaikan dengan
kondisi masyarakat sekitar di zaman itu.



0 Comments:

Post a Comment

 
Design by Blogger Themes | Bloggerized by Admin | free samples without surveys