Thursday, September 3, 2020

BUKTI KITAB AL -IBANAH IMAM ABU HASAN AL ASY`ARI DIPALSUKAN WAHABI


إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى


HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah


قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ
أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال،
كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر


Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-


لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى


Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-


 


Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).

Dâr
al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan
cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid
al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).



Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.

Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.


Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.


Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah



Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari
salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H),
seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah
adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa
ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran
Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat
terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah
dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa
sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang
dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.


Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak
terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada
al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun
kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa
merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai
al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah
sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop
out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh,
bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak.
Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan
al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu
‘Anhum.

Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî,
hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut
Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah
sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal,
Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul
dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada
sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah
dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah
saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer
bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak
mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah
merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya-
Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam
al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati,
bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa
al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan
al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu
yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka
untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah
Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan
dinilai sebagai sekte bid‘ah?


Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî


Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak
menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene
mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti
al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm,
Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm
Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah
bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut
al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî
sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan
beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku
sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan
Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara
al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara
al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen
mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah.
Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu?
Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang
menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa
al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl),
bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya
al-Asy‘arî;


  1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah
    dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas
    Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid
    al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
  2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
  3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Dar Anshar

Dar Anshar


Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad


Dar Kutub

Dar Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97;


استواءً يليق به من غير طول الاستقرار


tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.


Dar Anshar

Dar Anshar


Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad


Dar Kutub

Dar Kutub


* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;


استواءً منزها عن الحلول والاتحاد


tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48.
Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme
(Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam,
duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl.
Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû
wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah,
maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran
langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit
dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan
‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.


Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka
segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan
berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala
bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’”
lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah
Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa
Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat
dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode,
tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan
“bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi
(Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.


الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع


Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî
dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H,
hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.


Dar Anshar

Dar Anshar


Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad


Dar Kutub

Dar Kutub


* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan
Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار
tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya
kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat
Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman
bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa
al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah
satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar
diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh
(kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan
dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di
sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû
wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi
sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan
Mu‘aththilah.


Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab
Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan
antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan.
Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî
seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan
tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî
seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya
Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî,
Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa
Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû
al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî,
al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam
al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan
masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya
dalam satu tema akidah.


Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya
al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa
Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan
peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab
ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl
al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka
mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu
mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah
al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah
li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.


Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan
dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan
ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke
Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan
peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari
Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri
al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm
bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini
mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan
Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal
yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah
bukan sekte, juga bukan pemerintahan.


Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari
ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah
yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah
yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî.
Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya
sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh
al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran
antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah
yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang
terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan
oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf
al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di
sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf
al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh
Ibn ‘Asâkir?


Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb


1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;


Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn
al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan
risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid
al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka
ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko
sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl
seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia
(‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân
karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu
dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh
Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah
menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan
bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli
bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang
menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun
informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl
al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli
bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân,
w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah
li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.


2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;


Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka
teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari
menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan
ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai
karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ
al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1,
1424H, vol.7, hal.453.


Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû
Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah
al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan
Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda
ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti
melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan
menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak
menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1,
1424H, vol.9, hal.372.


3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;


Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala
hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari
pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan
lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan
kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun
perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari
al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî,
Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.


Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan
metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat
dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf
al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn
Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn
Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.


Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)


  1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr
    Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah
    Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr
    al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
  2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh
    al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia
    beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid
    Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
  3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah
    sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang
    dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah
    yang pertama dan terakhir.
  4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa
    paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan
    itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
  5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf
    al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh
    ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun
    al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
  6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî
    dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl
    al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang
    konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
  7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî
    yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya
    mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan
    Mu‘tazilah.
  8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl
    al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling
    melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf
    al-Shâlih.
  9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para
    ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti
    al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H),
    al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
  10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa
    al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan
    al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn,
    Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Daftar Pustaka


  1. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
  2. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
  3. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
  4. Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
  5. Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
  6. Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
  7. Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan
    al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
  8. Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
  9. Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

0 Comments:

Post a Comment

 
Design by Blogger Themes | Bloggerized by Admin | free samples without surveys