Showing posts with label KESESATAN WAHABI. Show all posts
Showing posts with label KESESATAN WAHABI. Show all posts

Thursday, September 3, 2020

AKIDAH ASLI 4 IMAM MADZAB.

 




Oleh Von Edison Alouisci
.
.
Tulisan ini Merinci akidah
asli imam madzab sebenarnya karena sering kita baca kaum wahabi mengaku
ngaku bahwa akidah imam madzab sama dengan mereka yakni menentukan arah
dan tempat,ruang yg pada akhirnya penyerupaan bagi Allah (jisim).
.
Uraian ini juga menjawab beberapa FITNAH KAUM WAHABI terhadap imam madzab dalam akidah.
.
Berikut penjelasanya :
.
.
1. AKIDAH ASLI IMAM SAFII.

Mari kita lihat qaul-qaul imam Syafi’i yang kami nukil
dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh(terpercaya) :
.
1. Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA dalam al-Quran beliau menjawab :
.

“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖ ﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ
ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ”ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ ‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏(ﺹ 24‏)
ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ
ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏( ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦ ﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏(ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ.

“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa

melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam
memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini
dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
.

Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al- Hishni di dalam kitab
Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarrada halaman : 18. Di dalam kitab ini
juga pada
halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata
.
:
ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ

“ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah
Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut
maksud
Rasulullah Saw “.
.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan lainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
.
ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ ﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺗﺬﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﻭﺍﻟﻈﻨﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﺤﺴﻴﺔ ﻭﺍﻟﺠﺴﻤﻴﺔﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.
.

“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan
persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah
Swt “
.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
.
2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
.

ﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺗﻤﺜﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﺃﻥ ﺗﺤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻨﻮﻥ
ﺃﻥﺗﻘﻄﻊ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﻮﺱ ﺃﻥ ﺗﻔﻜﺮ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻤﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﺗﻌﻤﻖ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻮﺍﻃﺮ ﺃﻥ ﺗﺤﻴﻂ
ﺇﻻﻣﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ – ﺃﻱ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺟﻬﺒﻞ ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺘﻪ ﺍﻧﻈﺮ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺝ 9/40 ﻓﻲﻧﻔﻲ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﺭﺩ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ .
.

“Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat
batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga
bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram
bagi
lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah
Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa
Sallam”
.
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam
Risalahnya, lihatlah Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al- Kubra juz : 9 halaman :
40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu
Taimiyyah)
.
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2
halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
.
ﺇﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪﺍﻟﻤﻜﺎﻥَ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮُ ﻓﻲ ﺫﺍﺗﻪ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺗﻪ”
.

“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah
menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak
berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi
Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga
perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
.

4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I
berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
.

ﻣﻦ ﺍﻧﺘﻬﺾ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﻣﺪﺑﺮﻩ ﻓﺎﻧﺘﻬﻰ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻜﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺒﻪ
ﻭﺇﻥﺍﻃﻤﺄﻥ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﺼﺮﻑ ﻓﻬﻮ ﻣﻌﻄﻞ ﻭﺇﻥ ﺍﻃﻤﺄﻥ ﻟﻤﻮﺟﻮﺩ ﻭﺍﻋﺘﺮﻑ ﺑﺎﻟﻌﺠﺰ
ﻋﻦﺇﺩﺭﺍﻛﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻮﺣﺪ
.
“ Barangsiapa yang berantusias untuk
mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada
hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah
dengan
makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang
tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika
ia merasa tenang pada
kewujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan
untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
.
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah
mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
.
- }ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ { ‏[ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ‏]
“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “
- ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮﺍْ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷَﻣْﺜَﺎﻝَ { ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ‏]
“ Janganlah kalian membuat perumpamaan- perumpamaan bagi Allah Swt “
- }: ﻫَﻞْ ﺗَﻌْﻠَﻢُ ﻟَﻪُ ﺳَﻤِﻴًّﺎ { ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﻣﺮﻳﻢ‏]
“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
.

Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan
sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna

jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan
diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA
dalam Al-Quran beliau menjawab
. :
“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ”ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ
‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏(ﺹ 24 ‏) ﻭﺍﻹﻣﺎﻡﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏(ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏(ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ .
.
“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa
melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku dalam memahaminya dan aku
mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini
dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.

Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “Al-Burhan Al-Muayyad “ halaman ; 24
.

‏( ﻓﺼﻞ‏) ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮْﺍ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻻَﻣَﻜَﺎﻥَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺍﻟﺪّﻟِﻴْﻞُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻫُﻮَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻛَﺎﻥَﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻓَﺨَﻠَﻖَ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ
ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﻔَﺔِ ﺍﻷﺯَﻟِﻴّﺔِ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻻَ
ﻳَﺠُﻮْﺯُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺗِﻪِِ ﻭَﻻَ ﺍﻟﺘَّﺒَﺪُّﻝُ ﻓِﻲ
ﺻِﻔَﺎﺗِﻪِ، ﻭَﻷﻥّ ﻣَﻦْ ﻟَﻪُ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺗَﺤْﺖٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻪُﺗَﺤْﺖٌ
ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣُﺘَﻨَﺎﻫِﻲ ﺍﻟﺬّﺍﺕِ
ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩًﺍ،ﻭَﺍﻟْﻤَﺤْﺪُﻭْﺩُﻣَﺨْﻠُﻮْﻕٌ،ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ
ﻋُﻠُﻮّﺍﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ،ﻭﻟِﻬﺬَﺍ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﺳْﺘَﺤَﺎﻝَ ﻋَﻠﻴْﻪ ﺍﻟﺰّﻭْﺟَﺔُ
ﻭَﺍﻟﻮَﻟﺪُ،ﻷﻥّ ﺫﻟِﻚ ﻻَ ﻳَﺘِﻢّ ﺇﻻّﺑﺎﻟْﻤُﺒَﺎﺷَﺮَﺓِ
ﻭﺍﻻﺗّﺼَﺎﻝِ ﻭﺍﻻﻧْﻔِﺼَﺎﻝ .
.

Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah
bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan
tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia
menciptakan
tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya
perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya
Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah.
Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan
sesuatu
yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha
suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri
dan anak.
Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah.
.
Allah mustahil pada-Nya ,sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya
istilah suami,istri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.13)
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM SAFII
.
Wahabi bukan ahlu sunnah karna berdusta dengan menyandarkan perkataan dari Imam Syafi,i
.

” ﺭﻭﻯ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ ، ﻭﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ
ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻫﻢﺇﻟﻰ ﺃﺑﻲ ﺛﻮﺭ ﻭﺃﺑﻲ ﺷﻌﻴﺐ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ
ﻧﺎﺻﺮﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ: ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻭﺃﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻻﻗﺮﺍﺭ
ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ
ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ
ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ “
.

“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkandan Al-Hafidz Abu
Muhammad Al-Muqoddasi denganisnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu
Syu’aib,keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I,
Nashirul
hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat didalam sunnah yang aku pegang dan
juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan
dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan
selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah

bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan
sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang
mendekat
kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja
DIA kehendaki “.
.
Lihat kitab FITNAH WAHABI
Mukhtashar Al-‘uluw halaman : 176)
.
Sekarang mari kita Perhatikan Perkataan diatas dari sisi sanadnya:
.
1. Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya
MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
.
ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ : ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻜﺬﺍﺑﻴﻦ ﺍﻟﻮﺿﺎﻋﻴﻦ
.
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
.
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
.
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺛﻮﻗﺎً ﺑﻪ
.
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
.
3. Ibnu Najjar berkata :
.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ : ﻣﺘﻬﻢﺑﻮﺿﻊﺍﻟﺤﺪﻳﺚﻭﺗﺮﻛﻴﺐﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ
.
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun- nyusun sanad “
.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL- MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
.

ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﻋﻠﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺍﻟﻐﺮﺍﺋﺐ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ، ﻭﻓﻲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ
.
“ Kebanyakan hadits yang diriwayatkannya adalah gharib(langka) dan mungkar dan juga terdapat hadits- hadits palsunya “.
.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman :184 :
.
ﻭﻫﻮ ﻛﺬﺍﺏ ﻭﺿﺎﻉ
.
“ Dia adalah seorang yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits”
.
Sekarang perhatikan pula dari sisi masanya:
.
Mereka (wahhabiah) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i.
.
Benarkah ?
.

Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh /
Sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya
imamSyafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIK HAL-BAGHDADI juz :
9 halaman : 436…
.
Nah dari sini kita melihat FITNAH AKIDAH atas nama ima safii oleh kaum ahlul fitnah wahabi dengan KITAB SERVICE-nya.
.

Jika sudah begini maka dimana letaknya wahabi memang ahlu
sunnah,alim,sesuai pemahaman salafus sholeh dan ngaku ngaku sesuai quran
hadits shoheh ?
.
He wahabi awam !
.
Kalian ini di
bodohi ustadz dan ulama penipu ! Kalian tdk sadar jk telah dijebak masuk
dalam akidah mujasimah yg dari berabad abad lalu di tolak mayoritas
ulama salaf !.
.
Taubat saja ! Tinggalkan firqoh sok ahli sunnah tetapi faktanya MENIPU DAN MEMFITNAH !.
.
2. ALKIDAH ASLI IMAM HANAFI.
.

.Imam Hanafi berkata :


ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓ، ﻭَﻳَﺮَﺍﻩُﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺑِﺄﻋْﻴُﻦِﺭُﺅُﻭﺳِﻬِﻢْ ﺑﻼَﺗَﺸْﺒِﻴْﻪٍ ﻭَﻻَ ﻛَﻤِّﻴَّﺔٍ
ﻭَﻻَﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔ .

Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika

mereka di surga dengan mata kepala mereka masing- masing dengan tanpa
adanya keserupaan bagi-Nya,bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan
tidak ada jarak antara mereka dengan Allah artinya bahwa Allah ada tanpa
tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri
.
Al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, hlm.136-137
.
beliau juga berkata
.

ﻗُﻠْﺖُ: ﺃﺭَﺃﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻗِﻴْﻞَ ﺃﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻳُﻘَﺎﻝُﻟَﻪُ: ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺃﻳْﻦ ﻭَﻻَ ﺧَﻠْﻖٌ ﻭَﻻَ ﺷَﻰﺀٌ ،ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞّ
ﺷَﻰﺀٍ “.
.
Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata:
Di manakah Allah.

Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum
segala makhluk-Nya ada.Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,
sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
.
al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalah nya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.20
.
Juga berkata
.

ﻭَﻧُﻘِﺮّ ﺑِﺄﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَﻟَﻪُ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇﻟﻴْﻪِﻭَﺍﺳْﺘِﻘْﺮَﺍﺭٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ،
ﻭَﻫُﻮَﺣَﺎﻓِﻆُ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻣِﻦْﻏَﺒْﺮِ ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﺝٍ، ﻓَﻠَﻮْ
ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﻟَﻤَﺎﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ
ﺇﻳْﺠَﺎﺩِﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِﻭَﺗَﺪْﺑِﻴْﺮِﻩِﻛَﺎﻟْﻤَﺨْﻠُﻮﻗِﻴ َﻦْ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ
ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ ﻭَﺍﻟﻘَﺮَﺍﺭِﻓَﻘَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺃﻳْﻦَ
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ.

.

Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”
[sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an] dengan menyakini bahwa Allah
tidak membutuhkan kepada arsy tersebut dan tidak
bertempat atau
bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara arsy dan lainnya tanpa
membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah
membutuhkan kepada
sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam
ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri.
.
Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya [termasuk ‘arsy] di manakah DiaAllah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.
.

Al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h.2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali
al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h.70.

3. AKIDAH IMAM HAMBALI
.
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam

yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah.
Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.
.
Dalam pada ini as-
Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:


ﻭَﻣَﺎ ﺍﺷْﺘُﻬِﺮَ ﺑَﻴْﻦَ ﺟَﻬَﻠَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻨْﺴُﻮْﺑِﻴْﻦَ ﺇﻟَﻰ ﻫﺬَﺍ ﺍﻹﻣَﺎﻡِ
ﺍﻷﻋْﻈَﻢِ ﺍﻟْﻤُﺠْﺘَﻬِﺪِ ﻣِﻦْ ﺃﻧّﻪُ ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﺑِﺸَﻰﺀٍﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻬَﺔِ ﺃﻭْ
ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﻓَﻜَﺬِﺏٌ ﻭَﺑُﻬْﺘَﺎﻥٌ ﻭَﺍﻓْﺘِﺮَﺍﺀٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ .

“Apa yang
tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada
madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah
bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah
merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al- Haditsiyyah, h. 144)

ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻪ " : ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺟﺴﻢ ﻻ ﻛﺎﻷﺟﺴﺎﻡ ﻛﻔﺮ‏) "ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺗﺸﻨﻴﻒ ﺍﻟﻤﺴﺎﻣﻊ
.

"Barang siapa yg mengatakan Allah Swt itu jisim yg tdk seperti jisim
yang lain maka dia telah kafir."Riwayat Al-Hafidz Badruddin Al-Zarkasyi
dalam Kitab tasynif Al-masami.
.
Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf
saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunnah
WalJama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan
para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam
menetapkan keyakinan suci ini.
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM HAMBALI


Wahhabiyyah telah melakukan kedustaan besar atas al-Imâm Ahmad, dan
merupakan bohong besar jika mereka mengklaim diri mereka sebagai kaum
bermadzhab Hanbali.
.
Madzhab al-Imâm Ahmad
terbebas dari keyakinan dan ajaran-ajaran kaum Wahhabiyyah.
.
Anda dapat melihat dengan berbagai referensi yang sangat kuat bahwa al-Imâm Ahmad

telah memberlakukan takwil dalam memahami teks- teks Mutasyâbihât,
seperti terhadap firman Allah: ”Wa Jâ-a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22), dan
firman-Nya: ”Wa Huwa Ma’akum” (QS. Al-Hadid: 4), juga seperti hadits
Nabi ”al-H ajar al-Aswad Yamîn Allâh Fi Ardlih”.
.
Teks-teks tersebut, juga teks-teks Mutasyâbihât lainnya sama

sekali tidak dipahami oleh al-Imâm Ahmad dalam makna-makna zahirnya.
Sebaliknya beliau memalingkan makna-makna zahir teks tersebut dan

memberlakukan metode takwil dalam memahami itu semua, karena beliau
berkeyakinan sepenuhnya bahwa Allah maha suci dari menyerupai segala
makhkuk-Nya dalam segala apapun.
.
Al-H âfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan al-
H âfizh ad-Daraquthni berkata:
.
“Ada dua orang saleh
yang diberi cobaan berat dengan orang-orang yang buruk akidahnya, yaitu Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal”
.

Dikutip oleh al-H âfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî
dengan rangkaian sanad-nya langsung dari al-H âfizh Ibn Syahin.
.
Yang dimaksud dua Imam agung yang saleh ini adalah; pertama, al-Imâm Ja’far ash-Shadiq ibn

Muhammad al-Baqir, orang yang dianggap kaum Syi’ah Rafidlah sebagai
Imam mereka hingga mereka menyandarkan kepadanya keyakinan-keyakinan
buruk mereka, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah
berkeyakinan demikian.
.
Dan yang kedua adalah al-Imâm Ahmad
ibn Hanbal, orang yang dianggap oleh sebagian orang yang mengaku sebagai
pengikutnya,namun mereka menetapkan kedustaan-kedustaan dan
kebatilan-kebatilan terhadapnya, seperti akidah tajsîm , tasybîh , anti
takwil, anti tawassul, dan lainnya yang sama sekali hal-hal tersebut
tidak pernah diyakini oleh al-Imâm Ahmad sendiri.
.
Di masa sekarang ini,

madzhab Hanbali lebih banyak lagi dikotori oleh orang-orang yang secara
dusta mengaku sebagai pengikutnya, mereka adalah kaum Wahhabiyyah, yang
telah mencemari kesucian madzhab al-Imâm Ahmad ini
dengan segala keburukan keyakinan dan ajaran-ajaran
mereka.
.
Hasbunallâh. Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab
Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzîh menuliskan
sebagai berikut:
.
“Saya melihat bahwa ada beberapa orang yang mengaku
di dalam madzhab kita telah berbicara dalam masalah
pokok-pokok akidah yang sama sekali tidak benar. Ada tiga orang yang menulis karya untuk itu;
.
Abu Abdillah ibn Hamid,
al-Qâdlî Abu Ya’la,
dan Ibn az-Zaghuni.
.
Tiga orang ini telah menulis buku yang mencemarkan madzhab

Hanbali. Saya melihat mereka telah benar-benar turun kepada derajat
orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara
indrawi. Ketika mereka mendengar hadits ”Innallâh Khalaqa Adâm ‘Alâ
Shûratih”, mereka lalu menetapkan shûrah (bentuk) bagi Allah, menetapkan
adanya wajah sebagai tambahan bagi Dzat- Nya, menetapkan dua mata,
menetapkan mulut, gigi dan gusi. Mengatakan bahwa wajah Allah memiliki
sinar yang
sangat terang, menetapkan dua tangan, jari-jemari,
telapak tangan, jari kelingking, dan ibu jari. Mereke juga menetapkan
dada bagi-Nya, paha, dua betis, dan dua kaki.
.
Mereka berkata; Adapun penyebutan tentang kepala kami

tidak pernah mendengar. Mereka juga berkata; Dia dapat menyentuh dan
atau disentuh, dan bahwa seorang hamba yang dekat dengan-Nya adalah
dalam pengertian kedekatan jarak antara Dzat-Nya dengan dzatnya. Bahkan
sebagian mereka berkata; Dia bernafas. Lalu untuk mengelabui orang-orang
awam mereka berkata; ”Namun perkara itu semua tidak seperti yang
terlintas dalam akal”.
.
Mereka telah mengambil makna zahir dari
nama-nama dan sifat-sifat Allah, lalu mereka mengatakan, seperti yang
dikatakan para ahli bid’ah, bahwa itu semua adalah sifat-sifat Allah.
Padahal mereka sama sekali tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari
dalil-dalil
tekstual maupun dalil-dalil akal.
.
Mereka
berpaling dari teks-teks muh kamât yang menetapkan bahwa teks- teks
Mutasyâbihât tersebut tidak boleh diambil makna zahirnya, tetapi harus
dipahami sesuai makna-makna
yang wajib bagi Allah, dan sesuai bagi
keagungan- Nya. Mereka juga berpaling dari pemahaman bahwa sebenarnya
menetapkan teks-teks Mutasyâbihât secara
zahirnya sama saja dengan menetapkan sifat-sifat baru bagi Allah.


Perkataan mereka ini adalah murni sebagai akidah tasybîh , penyerupaan
Allah dengan makhluk-Nya. Ironisnya, keyakinan mereka ini diikuti oleh
sebagian orang awam.
.
Saya telah memberikan nasehat kepada mereka semua tentang kesesatan akidah ini, baik
kepada mereka yang diikuti maupun kepada mereka
yang mengikuti. Saya katakan kepada mereka: “Wahai

orang-orang yang mengaku madzhab Hanbali, madzhab kalian adalah madzhab
yang mengikut kepada al-Qur’an dan hadits, Imam kalian yang
agung; Ahmad ibn Hanbal di bawah pukulan cambuk,
-dalam mempertahankan kesucian akidahnya- berkata:
“Bagaimana mungkin aku berkata sesuatu yang tidak

pernah dikatakan Rasulullah!?”. Karena itu janganlah kalian mangotori
madzhab ini dengan ajaran-ajaran yang sama sekali bukan bagian
darinya”lihat
Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 7-9
.
Tiga orang dinyatakan Ibn al-Jawzi di atas sebagai orang-orang pencemar nama baik madzhab Hanbal:
.
Orang pertama adalah Abu Abdillah ibn Hamid , nama

lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Hasan ibn Hamid ibn Ali al-Baghdadi
al-Warraq, wafat tahun 403 Hijiriah. Di masa hidupnya, dia adalah salah
seorang terkemuka di kalangan madzhab Hanbali, bahkan termasuk salah
seorang yang cukup produtif menghasilkan karya tulis di kalangan madzhab ini.
.
Di antara karyanya adalah

Syarh Kitâb Ushûl ad-Dîn , hanya saja kitab ini, juga beberapa kitab
karyanya penuh dengan kesesatan akidah tajsîm . Dari tangan orang ini
pula lahir salah
seorang murid terkemukanya, yang sama persis dengannya dalam keyakinan tasybîh , yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali.

.

Orang kedua; al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali, nama lengkapnya ialah Abu
Ya’la Muhammad ibn al-Husain ibn Khalaf ibn al-Farra’ al-Hanbali, wafat
tahun 458
Hijriah. Ia adalah salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab, –sama seperti gurunya tersebut di
atas–, atas tercemarnya kesucian madzhab Hanbali.
.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka bernama Abu

Muhammad at-Tamimi berkata: “Abu Ya’la telah mengotori madzhab Hanbali
dengan satu kotoran yang tidak akan dapat dibersihkan walaupun dengan
air
lautan”.

Di antara karya Abu Ya’la ini adalah Thabaqât al-H anâbilah ; di dalamnya terdapat perkataan-
perkataan tasybîh yang secara dusta ia sandarkan kepada al-Imâm Ahmad ibn Hanbal.
.
Padahal sedikitpun
al-Imâm Ahmad tidak pernah berkeyakinan seperti apa

yang ia sangkakannya. Termasuk salah satu karya Abu Ya’la adalah kitab
berjudul Kitâb al-Ushûl , juga di dalamnya banyak sekali
keyakinan-keyakinan tasybîh; di antaranya dalam buku ini ia menetapkan
bentuk dan
ukuran bagi Allah.
.
PRINGATAN !
.
al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim ini berbeda dengan al-Hâfizh Abu
Ya’la !!
.
JGN SALAH !!


Yang pertama; al-Qâdlî Abu Ya’la adalah seorang Mujassim murid dari Abu
Abdillah ibn Hamid, seperti yang telah kita tuliskan di atas.


Sementara al-Hâfizh Abu Ya’la adalah salah seorang Imam besar dan
terkemuka dalam hadits yang tulen sebagai seorang sunni, nama lengkap
beliau adalah Abu Ya’la Ahmad
ibn Ali al-Maushili, penulis kitab Musnad yang kenal dengan Musnad Abû Ya’lâ .
.

Adapun orang yang ketiga, yaitu Ibn az-Zaghuni , nama lengkapnya adalah
Abu al-Hasan Ali ibn Abdillah ibn Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat
tahun 527 Hijriah.
.
Orang ini termasuk salah satu guru dari al-H âfizh Ibn al-Jawzi sendiri. Ia menulis beberapa

buku tentang pokok-pokok akidah, salah satunya pembahasan tentang
teks-teks mutasyâbihât berjudul al-Idlâh Min Gharâ-ib at-Tasybîh , hanya
saja di dalamnya ia banyak menyisipkan akidah-akidah tasybîh.


Al-H âfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at- Tasybîh selain
menyebutkan tiga orang yang harus bertanggaung jawab terhadap
tercemarnya madzhab
Hanbali, beliau menuliskan pula
bantahan-bantahan atas orang-orang berakidah tasybîh dan tajsîm yang
mengaku bermadzhab Hanbali secara umum. ..
.
Di antara apa yang dituliskan beliau sebagai berikut:
.

“Janganlah kalian masukan ke dalam madzhab orang saleh dari kalangan
Salaf ini (al-Imâm Ahmad ibn Hanbal) sesuatu yang sama sekali bukan dari
rintisannya. Kalian telah membungkus madzhab ini dengan sesuatu yang
sangat buruk. Karena sebab kalian menjadi timbul klaim bahwa tidak ada
seorangpun yang bermadzhab Hanbail kecuali pastilah ia sebagai mujassim.
Bahkan, ditambah atas itu semua, kalian telah mengotori madzhab ini
dengan mananamkan sikap panatisme terhadap Yazid ibn Mu’awiyah.
.

Padahal kalian telah tahu bahwa al-Imâm Ahmad sendiri membolehkan
untuk melaknat Yazid. Dan bahkan Abu Muhammad ata-Tamimi berkata tentang
beberapa orang pimpinan dari kalian bahwa kalian telah mengotori
madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk yang tidak akan dapat
dibersihkan hingga hari kiamat”
.Lihat Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 10
.
Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab Manâqib
al-Imâm Ahmad pada bab 20 menuliskan secara detail
tentang keyakinan al-Imâm Ahmad: “Keyakinan al-Imâm

Ahmad Ibn Hanbal dalam pokok-pokok akidah”, Ia (al- Imâm Ahmad) berkata
tentang masalah iman: “Iman adalah ucapan dan perbuatan yang dapat
bertambah
dan dapat berkurang, semua bentuk kebaikan adalah bagian dari iman dan semua bentuk kemaksiatan dapat mengurangi iman”.
.
Kemudian tentang al-Qur’an
al-Imâm Ahmad berkata: “al-Qur’an adalah Kalam Allah
bukan makhluk. Al-Qur’an bukan dari selain Allah. tidak ada suatu apapun dalam al-Qur’an sebagai
sesuatu yang makhluk. Barangsiapa mengatakan
bahwa al-Qur’an makhluk maka ia telah menjadi kafir”.

4. AKIDAH IMAM MALIK.


Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al- Imam al-‘Allamah
al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama
terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul
al-Muqtafa Fi
Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam
Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
.

Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah
hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La
Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan
aku di atas nabi Yunus ibn Matta).
.
Dalam penjelasan hadits ini al-
Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus
menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut
nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman
akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah

arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah
hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh
ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah,

keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnyatidak lebih
dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya
kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah
tidak akan
mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di
atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini

oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa
tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf
al-Mustahafa.)
.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’

Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian
al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari
al-Imam Malikdari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn
Wahb-, berkata:
.

“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang
datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman
‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.
.
Abdullah ibn Wahab berkata:
.

Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau
menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat.
Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman
‘Ala al-arsy Istawa
sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri,
tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat
benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau
ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,
keluarkan orang ini dari sini”.
.
Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al- Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".


perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang
berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,keluarkan orang ini dari sini”, hal itu
karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-
kata “Bagaimana?”.
.

Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil
tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya,
maka
tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
.

Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al- Mu’minin, dan
riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik)
yang mengatakan:
.
“al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu
Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda)
bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair
Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di
dalam al-
Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i
sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa
telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an.
.
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul”
artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di
dalam al-Qur’an.
.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd
ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”,
sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam
bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna
duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita.
.
FITNAH AKIDAH ATAS NAMA IMAM MALIK.
.


Terkait penjelasan diatas golongan Wahhabiyyah memelintir,menyalah
artikan makna al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut.
.
Mereka mengatakan bahwa
Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya
saja, (menurut mereka) Kayfiyyah-Nya tidak
diketahui. ini jelas menyalah artikan penjelasan imam malik.

Padahal yg dimaksud perkataan

al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair
Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab
Kayfiyyah adalah sifat benda.
.
Dengan demikian, oleh karena
kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam
pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya
berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota
badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah
maha suci dari pada anggota-anggota badan.
.
Kaum Musyabbihah seperti kaum
Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering
mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”.
.
Perkataan semacam ini sama
sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya.
.
Tujuan kaum Musyabbihah
mengucapkan kata tesebut jelas untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu
mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui.
.

Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau
bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui".
.
Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui".
.
jadi, Perkataan kaum

Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” menipu orang-
orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud
oleh Al-Imam Malik padahal tdk demikian.ini fitnah !
.
perhatikan lagi :
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
.
Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya berkata:

Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al- arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah?
.
Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-

Istiwa’ telah jelas penyebutannya dalam al-Qur’an- (al- Istiwa Ghair
Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada
Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa
adalah
wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah
perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli
bid’ah”.

Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.
.

Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan
serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari
al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.408).
.
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah

al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits,
dalam karyanya berjudul Furqan al- Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
.
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut
sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu
mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini
menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini

secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa
adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang
lain.
.
Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut,
namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk
tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
.

Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi
Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan
makhluk- Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini
sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al- Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang
berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
.
Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh
Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
.

Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an- Nu’man dari Abdullah
ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah
berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang
sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit).
.
Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang
yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:
.
“’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
.
Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah

seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah
ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’,
seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
.
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada
al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali
tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali
dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada
al-Imam Malik adalah fitnah dan dusta !
.
Kesimpulan yg jelas bahwa semua akidah madzab adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TIDAK BERARAH


Sedangkan pernyataan Golongan semacam wahabi yg mengatakan bahwa semua
imam madzab berkeyakinan "ALLAH BERSEMAYAM DIATAS ARASY" Adalah
DUSTA,FITNAH DAN MENIPU SELURUH UMAT ISLAM.

Ustadz,ulama Wahabi
juga MEMBODOHI pengikut awamnya yang hanya MEMBEBEK saja dan tidak
pernah mengkaji jika para ustadz,ulamanya sedang menjerumuskan kedalam
lembah kesesatan bahkan kafir ! Menyembah Tuhan berhala tetapi
berbaju islam.!
.
AKIDAH KAFIR.
.
Simak tanggapan ahli
ulama Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan , asy-
Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﻓﻤﻦ
ﺃﻇﻠﻢ ﻣﻤﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺍﺩﻋﻰ ﺍﺩﻋﺎﺀً ﻣﻌﻴﻨًﺎ ﻣﺸﺘﻤﻼً ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ
ﺍﻟﻤﻜﺎﻥﻭﺍﻟﻬﻴﺌﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﺔ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﻭﺛﺒﻮﺕ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ، ﻓﻴﺼﻴﺮ
ﻛﺎﻓﺮًﺍ ﻻ ﻣﺤﺎﻟﺔ ”
.
“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan
melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan
yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau
menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau
menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
.

Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
.

“ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻗﺒﻞ ﻭﻗﻮﻋﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺇﻥ ﻋُﺪّ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﻦ
ﺃﻫﻞﺍﻟﺒﺪﻋﺔ، ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺑﺄﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺟﺴﻢ ﻭﻟﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻳﻤﺮّ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻧﺤﻮ
ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻓﺮ،ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﺗﺜﺒﺖ ﻟﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ”
.
“Barangsiapa
berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum
kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun
orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula
orang yang berkata bahwa Allah
adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah

terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi
kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-”.
.

Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al- Qari’ menuliskan sebagai
berikut:
.
“ ﺑﻞ ﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻣﻨﻬﻢ ـ ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ـ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻠﻒ ﺇﻥ ﻣﻌﺘﻘﺪ
ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻛﺎﻓﺮ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡﺑﻪ ﺍﻟﻌﺮﺍﻗﻲ، ﻭﻗﺎﻝ : ﺇﻧﻪ ﻗﻮﻝ ﻷﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ
ﻭﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭﺍﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ”
.
“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan
ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah
bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah
dinyatakan oleh al-Iraqi.
.
Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang

telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu
Hanifah, al-Imâm Malik,al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan
al-Imâm al-
Baqillani”.
.
nah disini makin jelas..wahabi salafi anti madzab.karna keyakinan dan pendapat wahabi terhadap keberadaan
Allah berbeda.(Ilmu akidah Dan tauhid)
.

kesimpulan paling vital adalah.. siapa yang salah akidah..maka ia salah
mengenal Tuhan sekalipan megaku Islam.dan seorang yang mengaku Islam
yang salah
Akidah maka Tuhan yang dimaksud BERBEDA.( hanya
orang awam yang megtakan sesama islam seakidah)

dan jika akidahnya salah..maka mau sholat serbu kali..naik haji seratus
kali.. sama dengan kaum yahudi atau kristen sholat dan naik
haji..BOHONG DAN BATHIL
KARNA TUHANNYA LAIN.
.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
.
ﻻَ ﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓُ ﺇﻻّ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩِ
.
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah
mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
.

Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya
memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah
kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa,
zakat, haji dan lainnya.
.
Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
.
ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥَّ ﺇِﻟﻬَـَﻨَﺎ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩٌ ﻓَﻘَﺪْ ﺟَﻬِﻞَ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩَ ‏(ﺭَﻭَﺍﻩ ﺃﺑُﻮ ﻧُﻌَﻴﻢ )
.

"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran
maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman
kepada- Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah
al-Auliya, juz 1, h. 72).
.
ﺻُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻋَﻘَﺎﺋِﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﻤَﺴُّﻚِ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﻪَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ
ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang
kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran !!!”
.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
.
ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﺻَﻒَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑِﻤَﻌْﻨًﻰ ﻣِﻦْ ﻣَﻌَﺎﻧِـﻲ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮْ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﻔَﺮَ
.
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat
manusia maka ia telah kafir”.
Allah ta'ala telah berfirman:
ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮْﺍ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷﻣْﺜَﺎﻝَ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ : 74 )
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
.
Allah berfirman:
.
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ : 11 )
.
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-
Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
.
PERHATIKAN AKIDAH RASLULLAH SBB:
.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah

ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun
selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
.
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu

(selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan,
‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat,waktu, tempat dan arah. Maka
berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak
membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah
dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah,karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
.
Arah,tempat dan waktu tdk bisa di difinisikan ketika segalanya belum tercipta.
Kita tdk bayangkan arah itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan tempat itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan waktu itu bagaimana.


Ketika semuanya FANA maka kita tdk bisa mengukur ukur,menilai
nilai,menebak nebak hal yg tdk ada selain hanya Allah yang ada dan tdk
di ketahui keberadaan-NYA.
.

ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩٌ ﺑِﻼَ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﻭَﻻَ ﺟِﻬَﺔٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah !!".

AKIDAH ASLI 4 IMAM MADZAB.

 




Oleh Von Edison Alouisci
.
.
Tulisan ini Merinci akidah asli imam madzab sebenarnya karena sering kita baca kaum wahabi mengaku ngaku bahwa akidah imam madzab sama dengan mereka yakni menentukan arah dan tempat,ruang yg pada akhirnya penyerupaan bagi Allah (jisim).
.
Uraian ini juga menjawab beberapa FITNAH KAUM WAHABI terhadap imam madzab dalam akidah.
.
Berikut penjelasanya :
.
.
1. AKIDAH ASLI IMAM SAFII.

Mari kita lihat qaul-qaul imam Syafi’i yang kami nukil
dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh(terpercaya) :
.
1. Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA dalam al-Quran beliau menjawab :
.
“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖ ﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ”ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ ‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏(ﺹ 24‏) ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ
ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏( ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦ ﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏(ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ.

“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa
melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
.
Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al- Hishni di dalam kitab Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarrada halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada
halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata
.
:
ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ
“ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud
Rasulullah Saw “.
.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan lainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
.
ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ ﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺗﺬﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﻭﺍﻟﻈﻨﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﺤﺴﻴﺔ ﻭﺍﻟﺠﺴﻤﻴﺔﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.
.
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “
.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
.
2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
.
ﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺗﻤﺜﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﺃﻥ ﺗﺤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻨﻮﻥ ﺃﻥﺗﻘﻄﻊ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﻮﺱ ﺃﻥ ﺗﻔﻜﺮ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻤﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﺗﻌﻤﻖ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻮﺍﻃﺮ ﺃﻥ ﺗﺤﻴﻂ ﺇﻻﻣﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ – ﺃﻱ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺟﻬﺒﻞ ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺘﻪ ﺍﻧﻈﺮ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺝ 9/40 ﻓﻲﻧﻔﻲ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﺭﺩ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ .
.
“Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi
lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”
.
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al- Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
.
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2
halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
.
ﺇﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪﺍﻟﻤﻜﺎﻥَ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮُ ﻓﻲ ﺫﺍﺗﻪ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺗﻪ”
.
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga
perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
.
4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
.
ﻣﻦ ﺍﻧﺘﻬﺾ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﻣﺪﺑﺮﻩ ﻓﺎﻧﺘﻬﻰ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻜﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺒﻪ ﻭﺇﻥﺍﻃﻤﺄﻥ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﺼﺮﻑ ﻓﻬﻮ ﻣﻌﻄﻞ ﻭﺇﻥ ﺍﻃﻤﺄﻥ ﻟﻤﻮﺟﻮﺩ ﻭﺍﻋﺘﺮﻑ ﺑﺎﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦﺇﺩﺭﺍﻛﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻮﺣﺪ
.
“ Barangsiapa yang berantusias untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada
kewujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan
untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
.
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah
mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
.
- }ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ { ‏[ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ‏]
“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “
- ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮﺍْ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷَﻣْﺜَﺎﻝَ { ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ‏]
“ Janganlah kalian membuat perumpamaan- perumpamaan bagi Allah Swt “
- }: ﻫَﻞْ ﺗَﻌْﻠَﻢُ ﻟَﻪُ ﺳَﻤِﻴًّﺎ { ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﻣﺮﻳﻢ‏]
“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
.
Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna
jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA
dalam Al-Quran beliau menjawab
. :
“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ”ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ
‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏(ﺹ 24 ‏) ﻭﺍﻹﻣﺎﻡﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏(ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏(ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ .
.
“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa
melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku dalam memahaminya dan aku
mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini
dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.

Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “Al-Burhan Al-Muayyad “ halaman ; 24
.
‏( ﻓﺼﻞ‏) ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮْﺍ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻻَﻣَﻜَﺎﻥَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺍﻟﺪّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻫُﻮَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻛَﺎﻥَﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻓَﺨَﻠَﻖَ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﻔَﺔِ ﺍﻷﺯَﻟِﻴّﺔِ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺗِﻪِِ ﻭَﻻَ ﺍﻟﺘَّﺒَﺪُّﻝُ ﻓِﻲ ﺻِﻔَﺎﺗِﻪِ، ﻭَﻷﻥّ ﻣَﻦْ ﻟَﻪُ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺗَﺤْﺖٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻪُﺗَﺤْﺖٌ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣُﺘَﻨَﺎﻫِﻲ ﺍﻟﺬّﺍﺕِ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩًﺍ،ﻭَﺍﻟْﻤَﺤْﺪُﻭْﺩُﻣَﺨْﻠُﻮْﻕٌ،ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ،ﻭﻟِﻬﺬَﺍ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﺳْﺘَﺤَﺎﻝَ ﻋَﻠﻴْﻪ ﺍﻟﺰّﻭْﺟَﺔُ ﻭَﺍﻟﻮَﻟﺪُ،ﻷﻥّ ﺫﻟِﻚ ﻻَ ﻳَﺘِﻢّ ﺇﻻّﺑﺎﻟْﻤُﺒَﺎﺷَﺮَﺓِ
ﻭﺍﻻﺗّﺼَﺎﻝِ ﻭﺍﻻﻧْﻔِﺼَﺎﻝ .
.
Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia
menciptakan tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu
yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak.
Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah.
.
Allah mustahil pada-Nya ,sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya
istilah suami,istri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.13)
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM SAFII
.
Wahabi bukan ahlu sunnah karna berdusta dengan menyandarkan perkataan dari Imam Syafi,i
.
” ﺭﻭﻯ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ ، ﻭﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻫﻢﺇﻟﻰ ﺃﺑﻲ ﺛﻮﺭ ﻭﺃﺑﻲ ﺷﻌﻴﺐ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻧﺎﺻﺮﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ: ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻭﺃﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻻﻗﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ
ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ “
.
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkandan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi denganisnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib,keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I,
Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat didalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan
dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan
selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah
bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat
kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja
DIA kehendaki “.
.
Lihat kitab FITNAH WAHABI
Mukhtashar Al-‘uluw halaman : 176)
.
Sekarang mari kita Perhatikan Perkataan diatas dari sisi sanadnya:
.
1. Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya
MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
.
ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ : ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻜﺬﺍﺑﻴﻦ ﺍﻟﻮﺿﺎﻋﻴﻦ
.
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
.
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
.
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺛﻮﻗﺎً ﺑﻪ
.
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
.
3. Ibnu Najjar berkata :
.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ : ﻣﺘﻬﻢﺑﻮﺿﻊﺍﻟﺤﺪﻳﺚﻭﺗﺮﻛﻴﺐﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ
.
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun- nyusun sanad “
.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL- MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
.

ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﻋﻠﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺍﻟﻐﺮﺍﺋﺐ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ، ﻭﻓﻲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ
.
“ Kebanyakan hadits yang diriwayatkannya adalah gharib(langka) dan mungkar dan juga terdapat hadits- hadits palsunya “.
.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman :184 :
.
ﻭﻫﻮ ﻛﺬﺍﺏ ﻭﺿﺎﻉ
.
“ Dia adalah seorang yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits”
.
Sekarang perhatikan pula dari sisi masanya:
.
Mereka (wahhabiah) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i.
.
Benarkah ?
.
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / Sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imamSyafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIK HAL-BAGHDADI juz : 9 halaman : 436…
.
Nah dari sini kita melihat FITNAH AKIDAH atas nama ima safii oleh kaum ahlul fitnah wahabi dengan KITAB SERVICE-nya.
.
Jika sudah begini maka dimana letaknya wahabi memang ahlu sunnah,alim,sesuai pemahaman salafus sholeh dan ngaku ngaku sesuai quran hadits shoheh ?
.
He wahabi awam !
.
Kalian ini di bodohi ustadz dan ulama penipu ! Kalian tdk sadar jk telah dijebak masuk dalam akidah mujasimah yg dari berabad abad lalu di tolak mayoritas ulama salaf !.
.
Taubat saja ! Tinggalkan firqoh sok ahli sunnah tetapi faktanya MENIPU DAN MEMFITNAH !.
.
2. ALKIDAH ASLI IMAM HANAFI.
.

.Imam Hanafi berkata :

ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓ، ﻭَﻳَﺮَﺍﻩُﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺑِﺄﻋْﻴُﻦِﺭُﺅُﻭﺳِﻬِﻢْ ﺑﻼَﺗَﺸْﺒِﻴْﻪٍ ﻭَﻻَ ﻛَﻤِّﻴَّﺔٍ ﻭَﻻَﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔ .

Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika
mereka di surga dengan mata kepala mereka masing- masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya,bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri
.
Al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, hlm.136-137
.
beliau juga berkata
.
ﻗُﻠْﺖُ: ﺃﺭَﺃﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻗِﻴْﻞَ ﺃﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻳُﻘَﺎﻝُﻟَﻪُ: ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺃﻳْﻦ ﻭَﻻَ ﺧَﻠْﻖٌ ﻭَﻻَ ﺷَﻰﺀٌ ،ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞّ ﺷَﻰﺀٍ “.
.
Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata:
Di manakah Allah.
Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada.Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,
sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
.
al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalah nya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.20
.
Juga berkata
.
ﻭَﻧُﻘِﺮّ ﺑِﺄﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَﻟَﻪُ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇﻟﻴْﻪِﻭَﺍﺳْﺘِﻘْﺮَﺍﺭٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﻫُﻮَﺣَﺎﻓِﻆُ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻣِﻦْﻏَﺒْﺮِ ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﺝٍ، ﻓَﻠَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﻟَﻤَﺎﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ ﺇﻳْﺠَﺎﺩِﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِﻭَﺗَﺪْﺑِﻴْﺮِﻩِﻛَﺎﻟْﻤَﺨْﻠُﻮﻗِﻴ َﻦْ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ ﻭَﺍﻟﻘَﺮَﺍﺭِﻓَﻘَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺃﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ.

.
Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” [sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an] dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy tersebut dan tidak
bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah
membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri.
.
Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya [termasuk ‘arsy] di manakah DiaAllah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.
.
Al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h.70.

3. AKIDAH IMAM HAMBALI
.
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam
yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.
.
Dalam pada ini as-
Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

ﻭَﻣَﺎ ﺍﺷْﺘُﻬِﺮَ ﺑَﻴْﻦَ ﺟَﻬَﻠَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻨْﺴُﻮْﺑِﻴْﻦَ ﺇﻟَﻰ ﻫﺬَﺍ ﺍﻹﻣَﺎﻡِ ﺍﻷﻋْﻈَﻢِ ﺍﻟْﻤُﺠْﺘَﻬِﺪِ ﻣِﻦْ ﺃﻧّﻪُ ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﺑِﺸَﻰﺀٍﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻬَﺔِ ﺃﻭْ ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﻓَﻜَﺬِﺏٌ ﻭَﺑُﻬْﺘَﺎﻥٌ ﻭَﺍﻓْﺘِﺮَﺍﺀٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ .

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah
merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al- Haditsiyyah, h. 144)

ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻪ " : ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺟﺴﻢ ﻻ ﻛﺎﻷﺟﺴﺎﻡ ﻛﻔﺮ‏) "ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺗﺸﻨﻴﻒ ﺍﻟﻤﺴﺎﻣﻊ
.
"Barang siapa yg mengatakan Allah Swt itu jisim yg tdk seperti jisim yang lain maka dia telah kafir."Riwayat Al-Hafidz Badruddin Al-Zarkasyi dalam Kitab tasynif Al-masami.
.
Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf
saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunnah
WalJama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan
para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam
menetapkan keyakinan suci ini.
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM HAMBALI

Wahhabiyyah telah melakukan kedustaan besar atas al-Imâm Ahmad, dan merupakan bohong besar jika mereka mengklaim diri mereka sebagai kaum bermadzhab Hanbali.
.
Madzhab al-Imâm Ahmad
terbebas dari keyakinan dan ajaran-ajaran kaum Wahhabiyyah.
.
Anda dapat melihat dengan berbagai referensi yang sangat kuat bahwa al-Imâm Ahmad
telah memberlakukan takwil dalam memahami teks- teks Mutasyâbihât, seperti terhadap firman Allah: ”Wa Jâ-a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22), dan firman-Nya: ”Wa Huwa Ma’akum” (QS. Al-Hadid: 4), juga seperti hadits
Nabi ”al-H ajar al-Aswad Yamîn Allâh Fi Ardlih”.
.
Teks-teks tersebut, juga teks-teks Mutasyâbihât lainnya sama
sekali tidak dipahami oleh al-Imâm Ahmad dalam makna-makna zahirnya. Sebaliknya beliau memalingkan makna-makna zahir teks tersebut dan
memberlakukan metode takwil dalam memahami itu semua, karena beliau berkeyakinan sepenuhnya bahwa Allah maha suci dari menyerupai segala makhkuk-Nya dalam segala apapun.
.
Al-H âfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan al-
H âfizh ad-Daraquthni berkata:
.
“Ada dua orang saleh
yang diberi cobaan berat dengan orang-orang yang buruk akidahnya, yaitu Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal”
.
Dikutip oleh al-H âfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî dengan rangkaian sanad-nya langsung dari al-H âfizh Ibn Syahin.
.
Yang dimaksud dua Imam agung yang saleh ini adalah; pertama, al-Imâm Ja’far ash-Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir, orang yang dianggap kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka hingga mereka menyandarkan kepadanya keyakinan-keyakinan buruk mereka, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan demikian.
.
Dan yang kedua adalah al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, orang yang dianggap oleh sebagian orang yang mengaku sebagai pengikutnya,namun mereka menetapkan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan terhadapnya, seperti akidah tajsîm , tasybîh , anti takwil, anti tawassul, dan lainnya yang sama sekali hal-hal tersebut tidak pernah diyakini oleh al-Imâm Ahmad sendiri.
.
Di masa sekarang ini,
madzhab Hanbali lebih banyak lagi dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya, mereka adalah kaum Wahhabiyyah, yang
telah mencemari kesucian madzhab al-Imâm Ahmad ini
dengan segala keburukan keyakinan dan ajaran-ajaran
mereka.
.
Hasbunallâh. Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab
Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzîh menuliskan
sebagai berikut:
.
“Saya melihat bahwa ada beberapa orang yang mengaku
di dalam madzhab kita telah berbicara dalam masalah
pokok-pokok akidah yang sama sekali tidak benar. Ada tiga orang yang menulis karya untuk itu;
.
Abu Abdillah ibn Hamid,
al-Qâdlî Abu Ya’la,
dan Ibn az-Zaghuni.
.
Tiga orang ini telah menulis buku yang mencemarkan madzhab
Hanbali. Saya melihat mereka telah benar-benar turun kepada derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi. Ketika mereka mendengar hadits ”Innallâh Khalaqa Adâm ‘Alâ Shûratih”, mereka lalu menetapkan shûrah (bentuk) bagi Allah, menetapkan adanya wajah sebagai tambahan bagi Dzat- Nya, menetapkan dua mata, menetapkan mulut, gigi dan gusi. Mengatakan bahwa wajah Allah memiliki sinar yang
sangat terang, menetapkan dua tangan, jari-jemari, telapak tangan, jari kelingking, dan ibu jari. Mereke juga menetapkan dada bagi-Nya, paha, dua betis, dan dua kaki.
.
Mereka berkata; Adapun penyebutan tentang kepala kami
tidak pernah mendengar. Mereka juga berkata; Dia dapat menyentuh dan atau disentuh, dan bahwa seorang hamba yang dekat dengan-Nya adalah dalam pengertian kedekatan jarak antara Dzat-Nya dengan dzatnya. Bahkan sebagian mereka berkata; Dia bernafas. Lalu untuk mengelabui orang-orang awam mereka berkata; ”Namun perkara itu semua tidak seperti yang terlintas dalam akal”.
.
Mereka telah mengambil makna zahir dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, lalu mereka mengatakan, seperti yang dikatakan para ahli bid’ah, bahwa itu semua adalah sifat-sifat Allah. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil-dalil
tekstual maupun dalil-dalil akal.
.
Mereka berpaling dari teks-teks muh kamât yang menetapkan bahwa teks- teks Mutasyâbihât tersebut tidak boleh diambil makna zahirnya, tetapi harus dipahami sesuai makna-makna
yang wajib bagi Allah, dan sesuai bagi keagungan- Nya. Mereka juga berpaling dari pemahaman bahwa sebenarnya menetapkan teks-teks Mutasyâbihât secara
zahirnya sama saja dengan menetapkan sifat-sifat baru bagi Allah.

Perkataan mereka ini adalah murni sebagai akidah tasybîh , penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ironisnya, keyakinan mereka ini diikuti oleh sebagian orang awam.
.
Saya telah memberikan nasehat kepada mereka semua tentang kesesatan akidah ini, baik
kepada mereka yang diikuti maupun kepada mereka
yang mengikuti. Saya katakan kepada mereka: “Wahai
orang-orang yang mengaku madzhab Hanbali, madzhab kalian adalah madzhab yang mengikut kepada al-Qur’an dan hadits, Imam kalian yang
agung; Ahmad ibn Hanbal di bawah pukulan cambuk,
-dalam mempertahankan kesucian akidahnya- berkata:
“Bagaimana mungkin aku berkata sesuatu yang tidak
pernah dikatakan Rasulullah!?”. Karena itu janganlah kalian mangotori madzhab ini dengan ajaran-ajaran yang sama sekali bukan bagian darinya”lihat
Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 7-9
.
Tiga orang dinyatakan Ibn al-Jawzi di atas sebagai orang-orang pencemar nama baik madzhab Hanbal:
.
Orang pertama adalah Abu Abdillah ibn Hamid , nama
lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Hasan ibn Hamid ibn Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat tahun 403 Hijiriah. Di masa hidupnya, dia adalah salah seorang terkemuka di kalangan madzhab Hanbali, bahkan termasuk salah
seorang yang cukup produtif menghasilkan karya tulis di kalangan madzhab ini.
.
Di antara karyanya adalah
Syarh Kitâb Ushûl ad-Dîn , hanya saja kitab ini, juga beberapa kitab karyanya penuh dengan kesesatan akidah tajsîm . Dari tangan orang ini pula lahir salah
seorang murid terkemukanya, yang sama persis dengannya dalam keyakinan tasybîh , yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali.

.
Orang kedua; al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali, nama lengkapnya ialah Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husain ibn Khalaf ibn al-Farra’ al-Hanbali, wafat tahun 458
Hijriah. Ia adalah salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab, –sama seperti gurunya tersebut di
atas–, atas tercemarnya kesucian madzhab Hanbali.
.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka bernama Abu
Muhammad at-Tamimi berkata: “Abu Ya’la telah mengotori madzhab Hanbali dengan satu kotoran yang tidak akan dapat dibersihkan walaupun dengan air
lautan”.

Di antara karya Abu Ya’la ini adalah Thabaqât al-H anâbilah ; di dalamnya terdapat perkataan-
perkataan tasybîh yang secara dusta ia sandarkan kepada al-Imâm Ahmad ibn Hanbal.
.
Padahal sedikitpun
al-Imâm Ahmad tidak pernah berkeyakinan seperti apa
yang ia sangkakannya. Termasuk salah satu karya Abu Ya’la adalah kitab berjudul Kitâb al-Ushûl , juga di dalamnya banyak sekali keyakinan-keyakinan tasybîh; di antaranya dalam buku ini ia menetapkan bentuk dan
ukuran bagi Allah.
.
PRINGATAN !
.
al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim ini berbeda dengan al-Hâfizh Abu
Ya’la !!
.
JGN SALAH !!

Yang pertama; al-Qâdlî Abu Ya’la adalah seorang Mujassim murid dari Abu Abdillah ibn Hamid, seperti yang telah kita tuliskan di atas.

Sementara al-Hâfizh Abu Ya’la adalah salah seorang Imam besar dan terkemuka dalam hadits yang tulen sebagai seorang sunni, nama lengkap beliau adalah Abu Ya’la Ahmad
ibn Ali al-Maushili, penulis kitab Musnad yang kenal dengan Musnad Abû Ya’lâ .
.
Adapun orang yang ketiga, yaitu Ibn az-Zaghuni , nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Abdillah ibn Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat
tahun 527 Hijriah.
.
Orang ini termasuk salah satu guru dari al-H âfizh Ibn al-Jawzi sendiri. Ia menulis beberapa
buku tentang pokok-pokok akidah, salah satunya pembahasan tentang teks-teks mutasyâbihât berjudul al-Idlâh Min Gharâ-ib at-Tasybîh , hanya saja di dalamnya ia banyak menyisipkan akidah-akidah tasybîh.

Al-H âfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at- Tasybîh selain menyebutkan tiga orang yang harus bertanggaung jawab terhadap tercemarnya madzhab
Hanbali, beliau menuliskan pula bantahan-bantahan atas orang-orang berakidah tasybîh dan tajsîm yang mengaku bermadzhab Hanbali secara umum. ..
.
Di antara apa yang dituliskan beliau sebagai berikut:
.
“Janganlah kalian masukan ke dalam madzhab orang saleh dari kalangan Salaf ini (al-Imâm Ahmad ibn Hanbal) sesuatu yang sama sekali bukan dari rintisannya. Kalian telah membungkus madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk. Karena sebab kalian menjadi timbul klaim bahwa tidak ada seorangpun yang bermadzhab Hanbail kecuali pastilah ia sebagai mujassim. Bahkan, ditambah atas itu semua, kalian telah mengotori madzhab ini dengan mananamkan sikap panatisme terhadap Yazid ibn Mu’awiyah.
.
Padahal kalian telah tahu bahwa al-Imâm Ahmad sendiri membolehkan untuk melaknat Yazid. Dan bahkan Abu Muhammad ata-Tamimi berkata tentang beberapa orang pimpinan dari kalian bahwa kalian telah mengotori madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk yang tidak akan dapat dibersihkan hingga hari kiamat”
.Lihat Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 10
.
Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab Manâqib
al-Imâm Ahmad pada bab 20 menuliskan secara detail
tentang keyakinan al-Imâm Ahmad: “Keyakinan al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbal dalam pokok-pokok akidah”, Ia (al- Imâm Ahmad) berkata tentang masalah iman: “Iman adalah ucapan dan perbuatan yang dapat bertambah
dan dapat berkurang, semua bentuk kebaikan adalah bagian dari iman dan semua bentuk kemaksiatan dapat mengurangi iman”.
.
Kemudian tentang al-Qur’an
al-Imâm Ahmad berkata: “al-Qur’an adalah Kalam Allah
bukan makhluk. Al-Qur’an bukan dari selain Allah. tidak ada suatu apapun dalam al-Qur’an sebagai
sesuatu yang makhluk. Barangsiapa mengatakan
bahwa al-Qur’an makhluk maka ia telah menjadi kafir”.

4. AKIDAH IMAM MALIK.

Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al- Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi
Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam
Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
.
Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta).
.
Dalam penjelasan hadits ini al-
Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus
menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut
nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman
akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah
arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah,
keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnyatidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan
mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di
atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini
oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa.)
.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’
Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malikdari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn
Wahb-, berkata:
.
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.
.
Abdullah ibn Wahab berkata:
.
Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa
sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau
ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,
keluarkan orang ini dari sini”.
.
Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al- Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".

perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-
kata “Bagaimana?”.
.
Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka
tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al- Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan:
.
“al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-
Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an.
.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di
dalam al-Qur’an.
.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna
duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita.
.
FITNAH AKIDAH ATAS NAMA IMAM MALIK.
.

Terkait penjelasan diatas golongan Wahhabiyyah memelintir,menyalah artikan makna al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut.
.
Mereka mengatakan bahwa
Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya
saja, (menurut mereka) Kayfiyyah-Nya tidak
diketahui. ini jelas menyalah artikan penjelasan imam malik.

Padahal yg dimaksud perkataan
al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda.
.
Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota
badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah
maha suci dari pada anggota-anggota badan.
.
Kaum Musyabbihah seperti kaum
Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering
mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”.
.
Perkataan semacam ini sama
sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya.
.
Tujuan kaum Musyabbihah
mengucapkan kata tesebut jelas untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu
mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui.
.
Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui".
.
Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui".
.
jadi, Perkataan kaum
Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” menipu orang- orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik padahal tdk demikian.ini fitnah !
.
perhatikan lagi :
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
.
Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya berkata:

Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al- arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah?
.
Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-
Istiwa’ telah jelas penyebutannya dalam al-Qur’an- (al- Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah
wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”.

Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.
.
Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.408).
.
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah
al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al- Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
.
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut
sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu
mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini
menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini
secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain.
.
Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut,
namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk
tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
.
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk- Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini
sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al- Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang
berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
.
Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh
Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
.
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an- Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit).
.
Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang
yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:
.
“’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
.
Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah
seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
.
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada
al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali
tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali
dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada
al-Imam Malik adalah fitnah dan dusta !
.
Kesimpulan yg jelas bahwa semua akidah madzab adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TIDAK BERARAH

Sedangkan pernyataan Golongan semacam wahabi yg mengatakan bahwa semua imam madzab berkeyakinan "ALLAH BERSEMAYAM DIATAS ARASY" Adalah DUSTA,FITNAH DAN MENIPU SELURUH UMAT ISLAM.

Ustadz,ulama Wahabi juga MEMBODOHI pengikut awamnya yang hanya MEMBEBEK saja dan tidak pernah mengkaji jika para ustadz,ulamanya sedang menjerumuskan kedalam lembah kesesatan bahkan kafir ! Menyembah Tuhan berhala tetapi berbaju islam.!
.
AKIDAH KAFIR.
.
Simak tanggapan ahli ulama Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan , asy- Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﻓﻤﻦ ﺃﻇﻠﻢ ﻣﻤﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺍﺩﻋﻰ ﺍﺩﻋﺎﺀً ﻣﻌﻴﻨًﺎ ﻣﺸﺘﻤﻼً ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥﻭﺍﻟﻬﻴﺌﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﺔ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﻭﺛﺒﻮﺕ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ، ﻓﻴﺼﻴﺮ ﻛﺎﻓﺮًﺍ ﻻ ﻣﺤﺎﻟﺔ ”
.
“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau
menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
.

Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻗﺒﻞ ﻭﻗﻮﻋﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺇﻥ ﻋُﺪّ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞﺍﻟﺒﺪﻋﺔ، ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺑﺄﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺟﺴﻢ ﻭﻟﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻳﻤﺮّ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻓﺮ،ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﺗﺜﺒﺖ ﻟﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ”
.
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah
adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah
terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-”.
.
Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al- Qari’ menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﺑﻞ ﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻣﻨﻬﻢ ـ ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ـ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻠﻒ ﺇﻥ ﻣﻌﺘﻘﺪ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻛﺎﻓﺮ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡﺑﻪ ﺍﻟﻌﺮﺍﻗﻲ، ﻭﻗﺎﻝ : ﺇﻧﻪ ﻗﻮﻝ ﻷﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭﺍﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ”
.
“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi.
.
Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang
telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik,al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-
Baqillani”.
.
nah disini makin jelas..wahabi salafi anti madzab.karna keyakinan dan pendapat wahabi terhadap keberadaan
Allah berbeda.(Ilmu akidah Dan tauhid)
.
kesimpulan paling vital adalah.. siapa yang salah akidah..maka ia salah mengenal Tuhan sekalipan megaku Islam.dan seorang yang mengaku Islam yang salah
Akidah maka Tuhan yang dimaksud BERBEDA.( hanya
orang awam yang megtakan sesama islam seakidah)
dan jika akidahnya salah..maka mau sholat serbu kali..naik haji seratus kali.. sama dengan kaum yahudi atau kristen sholat dan naik haji..BOHONG DAN BATHIL
KARNA TUHANNYA LAIN.
.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
.
ﻻَ ﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓُ ﺇﻻّ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩِ
.
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah
mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
.
Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
.
ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥَّ ﺇِﻟﻬَـَﻨَﺎ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩٌ ﻓَﻘَﺪْ ﺟَﻬِﻞَ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩَ ‏(ﺭَﻭَﺍﻩ ﺃﺑُﻮ ﻧُﻌَﻴﻢ )
.
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada- Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
.
ﺻُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻋَﻘَﺎﺋِﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﻤَﺴُّﻚِ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﻪَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ
ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang
kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran !!!”
.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
.
ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﺻَﻒَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑِﻤَﻌْﻨًﻰ ﻣِﻦْ ﻣَﻌَﺎﻧِـﻲ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮْ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﻔَﺮَ
.
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat
manusia maka ia telah kafir”.
Allah ta'ala telah berfirman:
ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮْﺍ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷﻣْﺜَﺎﻝَ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ : 74 )
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
.
Allah berfirman:
.
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ : 11 )
.
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-
Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
.
PERHATIKAN AKIDAH RASLULLAH SBB:
.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah
ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
.
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu
(selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat,waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah
dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah,karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
.
Arah,tempat dan waktu tdk bisa di difinisikan ketika segalanya belum tercipta.
Kita tdk bayangkan arah itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan tempat itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan waktu itu bagaimana.

Ketika semuanya FANA maka kita tdk bisa mengukur ukur,menilai nilai,menebak nebak hal yg tdk ada selain hanya Allah yang ada dan tdk di ketahui keberadaan-NYA.
.

ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩٌ ﺑِﻼَ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﻭَﻻَ ﺟِﻬَﺔٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah !!".

BENARKAH IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI MELALUI TIGA FASE PEMIKIRAN ?

 


Untuk menjawab pertanyaan ini, kita
harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’. Al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat
masyhur dan mempunyai fakta yang jelas. Beliau bukan tokoh
kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya
tidak diketahui orang, lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat
penting seperti yang kita bicarakan ini. Seandainya kehidupan al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang direkayasa
oleh Wahhabi/Salafi Palsu itu, menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan pemikiran, maka sudah tentu
para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku-buku
sejarah. Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan
tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham
Muktazilah saja.


Semua sejarawan yang menulis biografi
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami` Kota Basrah
dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar dari faham
Muktazilah. Di sini kita bertanya, adakah sejarawan yang menyatakan
kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham pemikiran
Abdullah bin Sa`id bin Kullab? Sudah tentu jawabannya, tidak ada.


Apabila kita menelaah atau meneliti
buku-buku sejarah, kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang
mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn
Kullab baik secara jelas maupun samar. Oleh karena itu, maklumat atau
fakta yang kita dapati adalah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah
al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Muktazilah,
beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al-Ibanah dan
lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela mazhab Ahl al-Sunnah Wa
al-Jama`ah.


Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata:


“Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail
al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada mazhab Muktazilah kepada
mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah
rasional dan menulis karangan-karangan dalam hal tersebut…” (Tabyin
Kidzb al-Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal
104)


Sejarawan terkemuka, al-Imam Syamsuddin
Ibn Khallikan berkata: “Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis
pokok-pokok akidah dan berupaya membela mazhab Ahl al-Sunnah. Pada
mulanya Abu al-Hassan adalah seorang Muktazilah, kemudian beliau
bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran
di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jum’at”. (Wafayat al-A’yan,
al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir, Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal.
284)


Sejarawan al-Hafiz al-Dzahabi berkata:
“Kami mendapat informasi bahawa Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari
faham Muktazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan
berkata, “Dulu aku berpendapat bahwa al-Quran itu makhluk dan Sekarang
aku bertaubat dan bertujuan membantah terhadap faham Muktazilah”.
(Siyar A`lam al-Nubala, al-Hafidz al-Dzahabi, Muassasah al-Risalah,
Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89)


Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun
berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan
berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah
shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan
mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas
al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan
Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut,
 ed. Khalil Syahadah, hal. 853)


Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun
tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin
Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut
ulama’ Salaf  dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.


Demikian juga, fakta sejarah yang
dinyatakan di dalam buku-buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari seperti Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib
al-Baghdadi, Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra karya al-Subki, Syadzarat
al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali, al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn
al-Atsir, Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir, Tartib
al-Madarik karya al-Hafiz al-Qadhi Iyadh, Tabaqat al-Syafi`iyyah karya
al-Asnawi, al-Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun, Mir`at al-Janan
karya al-Yafi`i dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa setelah al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Muktazilah, beliau kembali
kepada mazhab  Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi
Salaf.


Disamping itu, seandainya al-Imam Abu
Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga tahap aliran pemikiran, maka sudah
tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para
pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian
tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya. Oleh itu sudah
semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan
pengikutnya, lebih-lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari yang pasti menjadi buah mulut pelajar dan para
alim ulama’. Oleh itu jelaslah, bahwa ternyata setelah kita merujuk
pada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari, kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fase pemikiran yang di dakwa
oleh golongan Wahabi/Salafi Palsu.


Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para
pengikutnya bersepakat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah
meninggalkan faham Muktazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harits al-Muhasibi, Ibn
Kullab, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lain-lain.


Apabila kita mengkaji karya-karya para
alim ulama’ yang mengikut dan pendukung mazhab al-Asy`ari seperti
karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani,
al-Syaikh Abu Bakr bin Furak, Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi, Abu Ishaq
al-Syirazi, al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain. Kita semua tidak akan
menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu
Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga tidak rasional apabila golongan
Wahhabi/Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
telah meninggalkan mazhabnya tanpa diketahui oleh para murid-muridnya
dan pendukungnya. Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta
yang sama sekali jauh dari kebenaran.


Golongan Wahabi/Salafi gadungan ini
menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab
yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari di dalam kitabnya al-Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian
kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan
sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Metodologi tafwidh
ini adalah metodologi mayoritas ulama’-ulama’ Salaf al-Salih.
Berdasarkan hal ini, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap
 menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti
metodologi salaf sebagaimana yang di dakwa oleh golongan Wahabi ini.


Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan,
apakah isi kitab al-Ibanah yang di dakwa sebagai mazhab Salaf
bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab, atau dengan kata lain,
adakah Ibn Kullab bukan pengikut mazhab Salaf seperti yang ditulis oleh
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah? Pertanyaan
di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.


KEDUA, APAKAH IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA`AH ?


Setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
meninggalkan faham Muktazilah, dia mengikuti metodologi Abdullah bin
Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi. Artikel tersebut telah menjadi
kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase, tetapi mereka
berbeda dengan kita, karena kita mengatakan bahawa metodologi Ibn
Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab
sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al-Sunnah Wa
al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf. Hal ini bisa dilihat dengan
memperhatikan pernyataan para ulama’ berikut ini.


Al-Imam Tajuddin al-Subki telah
berkata: “Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al-Sunnah, Aku melihat
al-Imam Dhiyauddin al-Khatib, ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi,
menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat
al-Maram fi `Ilm al-Kalam, berkata: “Di antara teologi Ahl al-Sunnah
pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang
telah mengalahkan Muktazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan
mereka dengan hujjah-hujjahnya” (Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`iyyah
al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan
Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300)


Al-Hafiz Ibn Asakir al-Dimasyqi
telah berkata: “Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al-Warraq,
ahli hadits dari Mesir, berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad
Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani, seorang ahli fiqih mazhab al-Maliki.
Dia adalah seorang tokoh terkemuka mazhab al-Imam Malik di Maghrib
(Maroko) pada zamannya. Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn
Ismail al-Baghdadi al-Muktazili sebagai jawaban terhadap risalah yang
ditulisnya kepada kalangan pengikut mazhab Maliki di Qairawan kerana
telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah. Risalah tersebut
sangat panjang sekali, dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi
Zaid kepada ‘Ali bin Ahmad adalah sebagai berikut: Engkau telah
menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah, padahal engkau tidak pernah
menceritakan satu pendapatpun dari Ibn Kullab yang membuktikan dia
memang layak disebut ahli bid`ah. Dan kami sama sekali tidak mengetahui
adanya orang (ulama ’) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah.
Justru fakta yang kami terima, Ibn Kullab adalah pengikut sunnah (ahl
al-Sunnah) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli
bid`ah lainnya, dia adalah ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab
(al-Qaththan, wafat 240H)”. (Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al-Hafiz Ibn
Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah
li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 298 – 299)


Data sejarah yang disampaikan oleh
al-Hafiz Ibn Asakir di atas adalah kesaksian yang sangat penting dari
ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab,
bahwa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan
pengikut ahli bid`ah.


Al-Hafiz al-Dzahabi telah
berkata: “Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam (teologi – ilmu
yg berkaitan dengan ketuhanan) daerah Bashrah pada zamannya.”
Selanjutnya al-Dzahabi berkata: Ibn Kullab adalah ahli kalam yang
paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru
debat ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (terhadap Mu’tazilah). Ia mempunyai
karya diantaranya al-Shifat, Khalq al-Af’al dan al-Radd ‘ala
al-Mu’tazilah”. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala, Maktabah al-Shafa, cet.1,
1424H, juz 7, hal 453)


Di dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala
yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth, pernyataan al-Dzahabi
tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al-Arnauth dengan komentarnya
mengatakan: “Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al-Sunnah pada
masanya. Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad
bahwa dia termasuk sahabat kami (mazhab al-Asy`ari)”. (Siyar A’lam
an-Nubala cetakan Muassasah al-Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib
al-Arnauth, juz 11, hal. 175)


Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani
menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal
meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat
yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan
mufawwidhah (yang melakukan tafwidh).(Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.),
Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)


Dari paparan di atas dapatlah
disimpulkan bahawa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih
dalam pokok-pokok akidah dan keimanan. Mazhabnya menjadi inspirasi
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (perintis mazhab al-Asy`ari).


Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullab hanya diikuti oleh al-Imam al-Asy`ari?


Jawabannya adalah tidak. Metodologi Ibn
Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja,
akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhari
yaitu pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadits yang menduduki peringkat
terbaik dalam segi kesahihannya. Dalam konteks ini, al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani telah berkata :


“Al-Bukhari dalam semua yang
disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib (aneh),
mengutipnya dari pakar-pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah,
al-Nahzar bin Syumail, al-Farra’ dan lain-lain. Adapun kajian-kajian
fiqh, sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i, Abu Ubaid dan
semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi (ilmu kalam),
sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi, Ibn Kullab dan sesamanya”.
(Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari, Salafiyyah,
Cairo, juz 1, hal. 293)


Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al-Imam Abdullah bin Said bin
Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi
ulama’ Salaf, oleh karena itu dia juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari,
Abu al-Hassan al-Asy`ari dan lain-lain.


Di sini mungkin ada yang bertanya,
apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan
mengikuti Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, beliau (Ibn Kullab) juga diikuti
oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain-lain, lalu
mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi  Salaf atau Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah?


Hal tersebut sebenarnya datang dari satu
persoalan, yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap
al-Quran termasuk makhluk atau tidak. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang
terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan. Menurut al-Imam Ahmad bin
Hanbal, pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk
makhluk adalah bid`ah. Sementara al-Karabisi, Ibn Kullab, al-Muhasibi,
al-Qalanisi, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain berpandangan tegas, bahwa
bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk. Berangkat dari
perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal
menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah, meskipun
sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan
kelompoknya. Dalam konteks ini al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :


“Tidak diragukan lagi bahwa pandangan
yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan
al-Quran (oleh pembacanya) dan bahwa hal itu adalah makhluk, adalah
pendapat yang benar. Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya
karena khawatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran. Sehingga
al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat-rapat”.
(Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut,
ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510)


Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf
yang mengikuti faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga mazhabnya
juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, al-Asy`ari dan lain-lain.
Sekarang apabila demikian, dari mana asal-usul pendapat bahawa al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhab dan
pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?


Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.


KETIGA, KITAB AL-IBANAH ‘AN USUL AL-DIYANAH


Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di
dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di
dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain
juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan
kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah,
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang
diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat
mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan
mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada
metodologi Salaf.


Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn
Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia
termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi
tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas
sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan
berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk
dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.


Oleh itu, bagaimana dengan kitab
al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang
mengikuti Ibn Kullab?


Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli
telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang
mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti
 metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin  dakwaan yang mengatakan
bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat
tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi
Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani
di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :


“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab
al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar,
al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)


Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten
dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena
kitab al-Ibanah yang dikarang oleh  al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti
metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa
metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.


Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan golongan Wahhabi
melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan
tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa
pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase
perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan
fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh
Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim,
Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.


Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa
kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah,
kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab
al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang
sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab
al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata
:


“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad,
dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan
berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi.
Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti
maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan
oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab
al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”.
(Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut,
ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan
Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la
al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid
al-Faqi, juz 2, hal. 18)


Fakta sejarah di atas menyimpulkan,
bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah  tidak menerima konsep
yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada
al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa
al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak
sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi.
Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.


Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung
kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan
oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan
lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.


Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang
asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab
al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi
untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?


Berdasarkan kajian yang mendalam, para
pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan
kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa
ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama
kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh
ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh
kalangan Wahabi baca artikel ini: https://aswajacentre.blogspot.com/2020/09/bukti-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al.html


Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia


Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.


Semoga bermanfaat.

 
Design by Blogger Themes | Bloggerized by Admin | free samples without surveys